• News

39,8 Persen Anak Muda Alami Eco-Anxiety, Apa Itu?

M. Habib Saifullah | Minggu, 09/11/2025 07:05 WIB
39,8 Persen Anak Muda Alami Eco-Anxiety, Apa Itu? Diskusi `Drop the COP: Memantau Komitmen dan Menanti Aksi Iklim Indonesia di COP30` yang diselenggarakan di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Sabtu (8/11/2025) (Foto: Habib/Katakini.com)

JAKARTA - Dampak perubahan iklim diperkirakan merugikan ekonomi nasional hingga Rp544 triliun, yang mana dalam hal ini masyarakat sipil yang akan terkena dampak paling parah.

Melihat fenomena itu, sejumlah kelompok masyarakat sipil mengajak masyarakat untuk memantau negosiasi Indonesia di Konferensi ke-30 Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-bangsa (COP30) di Belém, Brasil pada 10-21 November, dengan menyuarakan keresahannya tentang dampak krisis iklim, dan bersama-sama mendesak pemerintah hasilkan kesepakatan yang dapat mengatasinya.

Menariknya, Manajer Kebijakan dan Advokasi Coaction Indonesia, A Azis Kurniawan mengatakan, berdasarkan riset pada 2024, 39,8 persen anak muda mengalami eco-anxiety lantaran mengkhawatirkan dampak krisis iklim pada lingkungan dan ekonomi ke depan.

"Padahal kalau pengambil kebijakan lebih serius, ada beberapa manfaat aksi iklim yang positif, yaitu green jobs," kata Azis dalam diskusi di kawasan Jakarta Selatan pada Sabtu (8/11/2025).

Oleh sebab itu, lanjutnya, aksi iklim oleh anak muda penting untuk mendorong transformasi ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang saat ini dibutuhkan masyarakat

Azis juga berharap, dalam penyelenggaraan COP30 ini, masyarakat ikut mengkritisi kebijakan Kontribusi yang ditetapkan secara Nasional (NDC) milik Indonesia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif CERAH, Agung Budiono menyebut mengatakan, desakan dari seluruh masyarakat menjadi penting mengingat komitmen iklim yang dibuat oleh Indonesia dalam level global belum dibuktikan dengan implementasi nyata di lapangan.

Kebijakan iklim dan transisi energi Indonesia yang berlaku saat ini pun masih jauh dari ideal untuk menjadi solusi krisis iklim.

"Sebagai contoh, di sektor energi, terdapat inkonsistensi atau gap kebijakan antara apa yang disampaikan pemerintah di level global dan dokumen kebijakan. Misalnya, soal target 100% energi terbarukan di 2035, namun kita melihat sejumlah dokumen justru masih menempatkan energi fosil sebagai pipeline, contohnya di RUPTL 2025-2034 dan RUKN," kata Agung.

Karenanya, COP30 seharusnya menjadi ajang pembuktian keseriusan Pemerintah Indonesia mengatasi krisis iklim. “Kita semua menanti Indonesia punya komitmen yang lebih serius,” Agung menegaskan.

Sebagai informasi, selain kegiatan diskusi, ada pula peluncuran laman untuk menjadi hub komunikasi yang menyediakan informasi terkait agenda dan kemajuan negosiasi delegasi Indonesia dalam COP30.