• Info DPR

Adian Minta Potongan Komisi Aplikator Maksimal 10 Persen

Agus Mughni Muttaqin | Senin, 27/10/2025 22:30 WIB
Adian Minta Potongan Komisi Aplikator Maksimal 10 Persen Anggota Komisi V DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Adian Napitupulu (Foto: dpr)

JAKARTA - Anggota Komisi V DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Adian Napitupulu, mengatakan bahwa potongan komisi aplikator driver online terhadap pengemudi seharusnya tidak melebihi 10 persen.

“Per hari ini kita meminta komisi aplikator tidak lebih dari 10 persen, all in,” tegas Adian, kepada wartawan seusai diskusi bersama asosiasi ojek online (ojol), komunitas pengemudi, hingga perwakilan aplikator, di Ruangan Fraksi PDIP, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin petang (27/10).

Legislator Dapil Jawa Barat V ini menjelaskan, di sejumlah negara lain, model bisnis aplikator transportasi daring justru lebih maju karena tidak lagi menggunakan sistem komisi. Sebagai gantinya, pengemudi membayar biaya tetap atau berlangganan setiap bulan kepada aplikator.

“Jadi si driver misalnya membayar pada aplikasi Rp200 ribu tiap bulan, dan aplikator wajib untuk mendistribusikan order pada mereka. Di India dan beberapa negara lain sudah seperti itu,” jelasnya.

Namun karena sistem itu belum diterapkan di Indonesia, Adian menegaskan bahwa tuntutan maksimal komisi 10 persen harus segera menjadi perhatian pemerintah. Ia juga mendorong agar dilakukan forum-forum diskusi terbuka yang melibatkan Komisi V DPR, asosiasi pengemudi online, dan pihak aplikator.

“Kalau menurut gua, itu yang harusnya perlu pemerintah membuat FGD-FGD dan diskusi-diskusi terbuka, baik dengan komisi V maupun dengan teman-teman driver dan teman-teman aplikator, gituloh. Tapi kan kita kadang-kadang sulit mencari data ya,” ujar Legislator PDIP ini.

Adian lantas membeberkan bahwa berdasarkan data yang baru diperoleh dalam sepekan terakhir, biaya operasional per tindakan (cost per action) sebenarnya hanya sekitar Rp204, yang sudah mencakup seluruh biaya layanan aplikasi dan peta digital.

“Sementara di beberapa aplikator yang lain itu, jasa aplikasi sudah dibayarkan terpisah Rp2.000. Nah ini juga harus kita periksa. Dan data-data ini kan baru kita dapatkan 5-6 hari terakhir kan,” ungkapnya.

“Gua juga kaget gitu loh ketika kita hitung sama-sama segala macem, oh ternyata cost per actionnya itu hanya Rp204 maksimal. Artinya keuntungan aplikasi-aplikasi yang mengambil di atas 20 persen ini gede banget gitu loh. Dan yang lebih menyedihkan uangnya itu sebagian lari ke luar negeri,” sambungnya.

Menurut Adian, kondisi itu menunjukkan lemahnya kontrol negara terhadap praktik ekonomi digital yang merugikan pekerja lapangan.

“Kalau itu terjadi, artinya negara gagal dong mengontrol ketamakan dan kerakusan para pelaku ekonomi ini,” tegas Sekjen Persatuan Nasional Aktivis 1998 (PENA 98) ini.

Mengacu data-data itu, Adian pun menegaskan bahwa tuntutan para pengemudi agar potongan aplikator maksimal 10 persen sebetulnya sangat mungkin dicapai.

“Harus mungkin dong, karena kita bicara by data dan dengan kalkulasi kan, dan kalkulasi dan hitungan dan data-data sore hari ini kan menunjukkan bahwa semua kita diprank sama aplikator itu. Aplikator-aplikator ini yang bersembunyi di balik data-data yang tidak pernah mereka publish. Jadi siapa yang diprank? Gua diprank, DPR kena prank, driver kena, konsumen juga kena. Kita dikibulin gituloh,” sesalnya.

Sebagai solusi jangka panjang, Adian yang juga Wasekjen DPP PDIP ini menilai bahwa Undang-Undang Transportasi Online diharapkan bisa memperkuat regulasi dan perlindungan bagi pengemudi daring.

“Kita sih lebih berharap pada undang-undang transportasi online-nya ya. Perpres ini kan sementara sampai dikeluarkannya undang-undang transportasi online itu kan, tapi kita sadar bahwa memproduksi sebuah undang-undang itu kan tidak gampang, tidak serhana, dan biasanya tidak cepat. Terkecuali ada hal lain,” pungkasnya.