• Info DPR

Sugeng: Campur Etanol ke BBM Harus Berbasis Riset Ilmiah

Agus Mughni Muttaqin | Minggu, 19/10/2025 22:20 WIB
Sugeng: Campur Etanol ke BBM Harus Berbasis Riset Ilmiah Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Sugeng Suparwoto (Foto: dpr)

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Sugeng Suparwoto mengatakan bahwa kebijakan pemanfaatan bioetanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia perlu kajian komprehensif.

Menurut Sugeng, penerapan bioetanol harus dilakukan secara hati-hati dan berbasis riset ilmiah yang terbukti aman, mengingat kebijakan ini menyangkut hajat hidup masyarakat luas dan berbagai sektor strategis nasional.

“Karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan banyak pemangku kepentingan, pemanfaatan etanol sebagai campuran BBM harus melalui proses yang betul-betul proven, melalui kajian tertentu. Etanol ini memiliki sifat kimia yang spesifik, salah satunya bersifat korosif,” ujar Sugeng dalam keterangan resmi dikutip pada Minggu (19/10).

Lebih lanjut, Sugeng menjelaskan bahwa sejumlah negara di dunia telah berhasil memanfaatkan bioetanol sebagai campuran bahan bakar kendaraan. Indonesia pun memiliki potensi besar untuk mengembangkannya, terutama melalui sumber daya alam yang melimpah di wilayah tropis.

Namun, lanjut Sugeng, implementasinya harus melalui penelitian dan uji coba menyeluruh agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap performa kendaraan maupun infrastruktur energi.

“Pemanfaatan bioetanol ini sebenarnya langkah yang baik, apalagi jika kita melihat dampak jangka panjangnya terhadap ekonomi dan lingkungan. Tapi harus dikaji betul secara ilmiah agar tidak menimbulkan efek teknis yang tidak diinginkan,” tambah Politisi Fraksi Partai NasDem ini.

Menurut Sugeng, penggunaan bioetanol dapat menjadi solusi strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil yang kini menimbulkan beban besar bagi perekonomian nasional. Ia memaparkan, konsumsi BBM Indonesia saat ini mencapai sekitar 1,6 juta barel per hari, sementara kemampuan produksi dalam negeri hanya sekitar 600 ribu barel per hari.

“Artinya, kita masih mengimpor sekitar satu juta barel per hari, baik dalam bentuk minyak mentah maupun produk BBM jadi. Ini menjadi beban ekonomi yang terus meningkat setiap tahun dan membebani APBN kita,” jelasnya.

Dari sisi fiskal, beban subsidi energi nasional juga masih sangat besar. Total subsidi energi, termasuk listrik, solar, dan LPG 3 kilogram, mencapai sekitar Rp308 triliun. Dengan penerapan bioetanol hingga 10 persen dalam campuran BBM, Sugeng menilai Indonesia dapat mengurangi impor bahan bakar, menekan subsidi energi, sekaligus berkontribusi pada pengurangan emisi karbon.

“Kalau 10 persen dari BBM digantikan dengan bioetanol, maka volume impor BBM bisa turun hingga 10 persen. Ini tentu berdampak langsung pada penghematan devisa dan penurunan emisi,” tuturnya.

Sugeng menambahkan, Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan bahan baku bioetanol yang berasal dari tanaman lokal seperti tebu, singkong, hingga aren. Menurutnya, nira aren menjadi bahan baku yang paling ideal karena kandungan gulanya tinggi dan tidak mengganggu ketahanan pangan nasional.

“Negara tropis seperti Indonesia punya sumber daya yang melimpah. Molase dari tebu bisa digunakan, meskipun perlu diatur agar tidak berebut dengan kebutuhan gula. Selain itu, singkong dan nira aren dengan kadar gula tinggi juga sangat potensial untuk produksi bioetanol,” ujarnya.

Namun, ia mengingatkan bahwa pengembangan bioetanol harus dilakukan dengan perhitungan ekonomi yang matang agar efisien secara industri. Skala produksi besar perlu dibangun untuk menjamin keekonomian dan keberlanjutan sektor ini.

“Produksinya harus dalam skala besar supaya efisien dan tidak merugikan. Pemerintah juga perlu mengarahkan riset dan inovasi untuk menemukan formulasi paling tepat dalam pengolahan dan distribusinya,” ucapnya.

Lebih lanjut, Sugeng menekankan pentingnya peran lembaga penelitian nasional seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk memperkuat dasar ilmiah program bioetanol. Ia menilai riset yang mendalam serta sosialisasi kepada publik menjadi kunci agar masyarakat memahami manfaat dan tujuan kebijakan ini.

“Pemerintah melalui lembaga berkompeten seperti BRIN harus melakukan riset dan sosialisasi secara tuntas, agar masyarakat memahami kenapa kita beralih ke bioetanol. Tujuannya jelas untuk menghemat devisa, menekan emisi, dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil,” tegasnya.

Sugeng memastikan bahwa DPR RI akan terus mendukung langkah-langkah pemerintah dalam upaya transisi menuju energi bersih dan berkelanjutan, selama setiap kebijakan disusun berdasarkan kajian ilmiah yang kuat dan berpihak pada kepentingan nasional.