Logo Premier League
JAKARTA - Klub-klub peserta Premier League dikabarkan akan menggelar pemungutan suara dalam beberapa minggu mendatang terkait usulan aturan batas gaji baru yang akan membatasi pengeluaran setiap tim.
Mengutip laporan Daily Mail yang dikutip pada Kamis (16/10), aturan yang disebut “top-to-bottom anchor” ini akan menentukan batas maksimal belanja klub hanya sampai lima kali lipat dari total biaya tim yang menempati posisi terbawah klasemen musim sebelumnya.
Batasan tersebut mencakup seluruh pengeluaran seperti gaji pemain dan pelatih, biaya amortisasi transfer, serta komisi agen. Berdasarkan data musim 2023–2024, angka tersebut diperkirakan berada di kisaran £550 juta (sekitar Rp11 triliun). Dengan jumlah itu, beberapa klub besar disebut berisiko langsung melanggar aturan baru tersebut.
Usulan aturan juga mencakup sanksi pemotongan enam poin bagi klub yang melanggar, dan tambahan satu poin untuk setiap kelebihan £6,5 juta dari batas yang ditentukan.
Draf lengkap aturan setebal 25 halaman telah diserahkan kepada klub-klub Premier League. Pemungutan suara resmi dijadwalkan berlangsung pada 21 November 2025. Jika lebih dari dua pertiga klub menyetujui, sistem ini akan diberlakukan mulai musim depan.
Sejumlah klub besar menolak usulan tersebut karena dianggap dapat menurunkan daya saing Premier League dibandingkan liga top Eropa lain yang tidak memberlakukan pembatasan serupa.
Mereka khawatir para pemain bintang seperti Erling Haaland dan Mohamed Salah bisa hengkang ke klub seperti Real Madrid, Barcelona, atau Bayern Munich, yang mampu menawarkan gaji lebih tinggi.
Saat ini, tiga dari lima klub dengan pengeluaran gaji terbesar di Eropa bahkan berada di luar Inggris. Kekhawatiran lainnya adalah, jika daya tarik kompetisi berkurang, maka pendapatan dari hak siar televisi dan aktivitas transfer juga akan ikut menurun.
Klub-klub seperti Manchester United dan Manchester City termasuk yang paling vokal menentang sistem ini. Pemilik bersama United, Jim Ratcliffe, menyebut langkah tersebut “tidak masuk akal”.
“Aturan ini akan membatasi klub-klub besar Premier League. Jika mereka tidak bisa bersaing dengan Real Madrid atau PSG, maka liga ini tak lagi menjadi yang terbaik di dunia,” ujar Ratcliffe dikutip dari Daily Mail.
Selain penolakan dari klub besar, Asosiasi Pesepak Bola Profesional (PFA) juga menentang keras kebijakan ini. Mereka menilai aturan tersebut sama saja dengan penerapan batas gaji ketat (salary cap) yang bisa melanggar kebebasan kontrak pemain.
PFA bahkan dikabarkan tengah menyiapkan langkah hukum jika aturan tersebut benar-benar disahkan. Beberapa anggota asosiasi juga menilai sejumlah klub belum memahami sepenuhnya konsekuensi dari kebijakan yang akan mereka pilih.
Premier League berencana menerapkan sistem ini bersamaan dengan Squad Cost Ratio (SCR), yang akan menggantikan aturan Profit and Sustainability Rules, aturan lama yang memperbolehkan klub mengalami kerugian hingga £105 juta dalam tiga tahun.
Melalui sistem baru ini, pengeluaran klub akan dibatasi maksimal 85% dari total pendapatan. Pihak liga menyebut langkah tersebut sebagai bentuk “perlindungan preventif” untuk menjaga keseimbangan kompetisi.
Namun pihak oposisi menilai, justru masalah utama bukanlah di persaingan papan atas, melainkan ketimpangan di papan bawah klasemen. Mereka menilai pembatasan seperti ini hanya akan memperburuk situasi klub kecil dan membatasi investasi di masa depan.