JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi mengkritik jargon penurunan stunting yang sering digembar-gemborkan oleh pemerintah yang ternyata masih sebatas seremonial.
Ia menegaskan, masih banyak anak-anak di pelosok desa yang mengalami kekurangan gizi dan tidak mendapat pendampingan memadai.
Demikian disampaikan Nurhadi dalam Rapat Kerja Komisi IX dengan Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Kamis (4/9/2025).
“Kita menghadapi ironi. Negara bicara soal bonus demografi, tapi anak-anak yang seharusnya jadi bonus malah terancam jadi beban karena kualitas SDM yang rendah. Kalau prevalensi stunting tidak turun signifikan, ini kegagalan besar negara,” tegas Nurhadi seperti diberitakan dpr.go.id, Jumat (5/9/2025).
Ia juga menyoroti potensi tumpang tindih antara program BKKBN dan Kementerian Kesehatan, khususnya terkait intervensi gizi pada seribu hari pertama kehidupan (HPK). Menurutnya, koordinasi yang jelas sangat dibutuhkan agar tidak terjadi duplikasi anggaran.
“Pertanyaan saya, apakah BKKBN punya skema koordinasi yang jelas, atau kita akan menyaksikan lagi praktek duplikasi anggaran yang boros? Saya ingin BKKBN menjamin setiap rupiah benar-benar sampai pada seribu HPK di desa terpencil,” ujarnya.
Selain itu, Nurhadi menyoroti masalah penyuluh BKKBN yang dianggap ujung tombak program keluarga berencana dan penurunan stunting. Dari 16 ribu penyuluh aktif, 11 ribu di antaranya masih berstatus non-ASN, sementara kebutuhan nasional mencapai 40 ribu orang.
“Kalau penyuluh dianggap sebagai pilar penting, mengapa pengangkatan mereka tidak pernah diprioritaskan? Bahkan saya melihat di RKA 2026 tidak ada anggaran untuk itu. Padahal kita masih defisit sekitar 20 ribu penyuluh,” jelasnya.