JAKARTA - Di tengah maraknya kasus korupsi dan tindak pidana lain yang melibatkan pejabat maupun masyarakat, istilah pemerasan dan suap kerap muncul dalam pemberitaan.
Meski sama-sama berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan dan uang, keduanya memiliki perbedaan mendasar baik dari sisi definisi maupun konsekuensi hukum.
Pemerasan terjadi ketika seseorang memaksa pihak lain memberikan uang, barang, atau fasilitas dengan ancaman. Ancaman ini bisa berupa kekerasan fisik, intimidasi, maupun ancaman jabatan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 368, disebutkan bahwa "Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan suatu barang, maka diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun."
Artinya, pemerasan identik dengan unsur paksaan. Korban tidak rela memberikan sesuatu, tetapi dipaksa karena takut terhadap ancaman.
Sementara itu, suap adalah pemberian atau janji sesuatu kepada pejabat atau pihak tertentu agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan jabatannya.
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Pasal 5, suap diatur sebagai: "Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri dengan maksud supaya pegawai negeri tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 250 juta."
Berbeda dengan pemerasan, suap biasanya dilakukan atas dasar kesepakatan dua pihak. Pemberi berharap mendapat keuntungan, sementara penerima menyalahgunakan jabatan demi imbalan.