JAKARTA - Banyak orang percaya bahwa overthinking adalah tanda kecemasan berlebih. Namun, sejumlah studi justru mengaitkan kebiasaan ini dengan tingkat kecerdasan yang tinggi.
Hal ini memicu pertanyaan menarik, di antaranya ialah apakah otak yang lebih cerdas memang lebih mudah terjebak dalam pikiran yang berputar-putar atau overthinking? Jawabannya tak sesederhana ya atau tidak.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa individu dengan kemampuan intelektual di atas rata-rata memiliki kecenderungan lebih besar untuk menganalisis secara mendalam. Karena itu, mereka kerap terjebak dalam proses berpikir yang panjang sebelum mengambil keputusan.
Kondisi ini bisa membuat seseorang terlihat ragu, padahal sebenarnya sedang menimbang berbagai kemungkinan. Dalam dunia psikologi, ini disebut sebagai “rumination” atau pikiran yang berulang tanpa henti.
Menurut riset yang dimuat dalam jurnal Personality and Individual Differences, individu dengan kecerdasan verbal tinggi lebih mudah mengalami hal ini. Mereka cenderung memikirkan satu situasi dari banyak sudut pandang sekaligus.
Sayangnya, kemampuan untuk melihat terlalu banyak skenario sering kali berujung pada kegamangan. Ini membuat proses pengambilan keputusan menjadi lambat dan penuh beban emosional.
Namun, bukan berarti overthinking selalu membawa dampak negatif. Pada tingkat tertentu, ini bisa menjadi bentuk kewaspadaan yang lahir dari kemampuan berpikir kritis.
Meski demikian, ketika tidak dikendalikan, overthinking bisa menurunkan kualitas hidup. Banyak orang cerdas justru terjebak dalam kelelahan mental akibat tidak mampu mengelola arus pikirannya sendiri.
Menurut psikologi, kecerdasan sering kali datang bersama kepekaan terhadap detail dan risiko. Kombinasi ini membuat seseorang tampak lebih khawatir, padahal sebenarnya sedang berusaha memproyeksikan konsekuensi dari pilihannya.
Karena itu, penting bagi orang dengan kapasitas kognitif tinggi untuk belajar mengelola pikirannya. Bukan dengan mengurangi intensitas berpikir, melainkan dengan membatasi arah dan fokus dari pikirannya sendiri.
Latihan seperti mindfulness dan menulis jurnal harian terbukti membantu meredam alur pikiran yang terlalu aktif. Sementara itu, membiasakan diri mengambil keputusan kecil secara cepat dapat melatih kepercayaan diri dalam berpikir spontan.
Meskipun terdengar paradoks, kecerdasan yang tidak diarahkan justru bisa menjadi bumerang bagi kesejahteraan mental. Di titik ini, overthinking bukan lagi kelebihan, melainkan jebakan.
Maka, memahami cara kerja otak sendiri menjadi langkah penting bagi mereka yang cenderung berpikir terlalu dalam. Sebab, berpikir panjang bukan masalah—asal tahu kapan harus berhenti.