Ketika Harta Haram Jadi Petaka bagi Keluarga

M. Habib Saifullah | Jum'at, 22/08/2025 21:05 WIB
Ketika Harta Haram Jadi Petaka bagi Keluarga Ilustrasi tindak korupsi (Foto: Pexels/Tima Miroshnichenko)

JAKARTA - Korupsi masih menjadi persoalan yang dihadapi negeri ini. Menurut data survei Pew Research Center Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara yang paling sering berdoa, yaitu sekitar 95 persen.

Ironisnya Indonesia menempati posisi ke-32 sebagai negara paling korup versi Corruption Perception Index (CPI) 2024, meski mengalami perbaikan yang sebelumnya menempati peringkat ke-34.

Padahal tindakan korupsi korupsi tidak hanya mencoreng nama pelaku, tetapi juga menjerat keluarga dan anak-anak mereka dalam jeratan dosa.

Dalam ajaran Islam, memakan harta hasil korupsi sama artinya dengan memakan sesuatu yang haram. Akibatnya, bukan hanya koruptor yang menanggung dosa, tetapi juga keluarganya yang menikmati hasil korupsi itu.

Dalam hadis riwayat Thabrani, Rasulullah SAW bersabda:

"Setiap daging yang tumbuh dari makanan haram, maka neraka lebih utama baginya."

Artinya, jika seorang anak tumbuh dari makanan dan minuman hasil korupsi, maka tubuhnya telah dipelihara dengan yang haram. Di akhirat, tubuh itu akan menjadi bahan bakar api neraka.

Ulama pun menegaskan, anak-anak yang tumbuh dari hasil harta korupsi akan kesulitan mendapat keberkahan hidup. Doa mereka bisa terhalang, karena apa yang mereka makan dan pakai berasal dari sumber haram. Sebagaimana hadis riwayat Muslim:

"Seorang laki-laki yang berdoa dengan mengangkat tangannya ke langit seraya berkata: Ya Rabb, ya Rabb, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dari yang haram, maka bagaimana mungkin doanya dikabulkan?"

Selain ancaman azab di akhirat, dampak duniawi juga nyata. Anak-anak dari keluarga koruptor sering kali mendapat stigma sosial, hidup dalam rasa malu, dan sulit membangun citra bersih. Lebih jauh, keberkahan dalam pendidikan, rezeki, bahkan kesehatan bisa hilang karena sumber nafkah yang kotor.

Para ulama menekankan pentingnya sikap tegas keluarga terhadap anggota yang korup. Jika seorang istri atau anak mengetahui nafkah yang diberikan berasal dari hasil korupsi, mereka dianjurkan untuk menolak dan tidak menikmatinya. Dengan cara itu, mereka terhindar dari ikut menanggung dosa besar.