JAKARTA - Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya menegaskan bahwa pengibaran bendera One Piece tidak bisa disamakan dengan tindakan melecehkan simbol negara, apalagi tidak tergolong dalam bendera terlarang seperti bendera separatis atau negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Hal itu disampaikan Willy menanggapi fenomena maraknya pengibaran bendera bergambar tengkorak bertopi ala film animasi One Piece yang terjadi belakangan ini di sejumlah daerah di Indonesia.
Politisi Fraksi Partai NasDem ini pun mengajak publik untuk menyikapi fenomena itu secara proporsional. Semua dilakukan agar masyarakat tidak terjebak dengan pemikiran-pemikiran tertentu.
“Selama tidak melecehkan Merah Putih, misalnya menempelkan simbol One Piece di atasnya, maka itu bukan pelanggaran serius. Saya lihat juga posisinya di bawah Merah Putih,” kata Willy dalam keterangan tertulis yang dikutip Parlementaria, di Jakarta, Minggu (3/8/2025).
“Membunuh nyamuk tidak perlu menggunakan granat atau mesiu. Responsnya harus tetap proporsional. Jangan sampai kita terjebak dalam provokasi,” ujar dia.
Dalam kesempatan itu dia juga menggarisbawahi bahwa ekspresi seperti itu biasanya muncul dari kalangan muda yang penuh energi, idealisme, dan keberanian menggugat ketidakadilan. Namun, menurutnya, semangat itu sering kali tidak dibarengi dengan nalar yang cukup.
“Ekspresinya jadi sporadis, meskipun genuine dan unik,” ujar Willy.
Ia menekankan bahwa tugas negara adalah menyelenggarakan kehidupan bersama yang berkeadilan dan menyejahterakan warganya. Jika itu bisa diwujudkan, maka ekspresi semacam ini akan kehilangan gaungnya.
“Kalau negara hadir dengan keadilan dan kesejahteraan, bendera One Piece pun tak akan digubris, karena gugatan itu tak relevan,” ucapnya.
Meski begitu, ia menolak gagasan untuk merespons aksi ini dengan tindakan represif atau bahkan ajakan dialog langsung kepada pelaku pengibaran. “Fenomena semacam ini cukup dicermati dan dipahami. Jangan justru terjebak dalam provokasi,” jelasnya.
Willy mengajak semua pihak untuk memperbaiki kanal-kanal dialog di dalam kehidupan berbangsa. "Kalau tidak ada dialog, itu bukan bernegara, tapi berkuasa. Jangan-jangan ini muncul karena ruang-ruang dialog tersumbat,” katanya.
Menutup pernyataannya, Willy berpesan agar masyarakat tetap memperjuangkan keadilan dengan cara yang benar. “Menggugat ketidakadilan itu bagus, tapi jangan salah alamat. Jangan lupa, Indonesia ini rumah kita. Kalau ada tikus di rumah, jangan rumahnya yang dibakar,” pungkasnya.