JAKARTA - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sekolah gratis untuk tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, baik negeri maupun swasta, menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku pendidikan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kekhawatiran ini muncul karena bersamaan dengan rencana penurunan dana transfer daerah.
Hal tersebut mengemuka dalam pertemuan Tim Kunjungan Kerja Komisi X DPR RI yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi X MY Esti Wijayanti dengan jajaran Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi DIY, Dinas Pendidikan kabupaten/kota se-Provinsi DIY, serta organisasi profesi guru dan perwakilan kepala sekolah dan komite sekolah di Provinsi DIY, pada Jumat (27/7/2025), di Yogyakarta.
Menurut MY Esti penurunan dana transfer daerah menjadi masalah serius jika putusan MK tersebut diterapkan tanpa perhitungan matang. Selain itu, adanya batasan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) juga menimbulkan pertanyaan tentang definisi "sekolah gratis" yang sebenarnya.
"Ini yang memang harus kita pertegas, tidak perlu menunggu soal Undang-Undang Sisdiknas selesai, tetapi supaya tidak ada kegelisahan saya kira kementerian perlu segera menyampaikan aturan-aturan ataupun batasan-batasan yang bisa digunakan kalau kita memang berkehendak untuk melaksanakan yang namanya putusan Mahkamah Konstitusi," kata MY Esti.
Ia menjelaskan bahwa penerapan putusan MK ini tidak dapat dilakukan secara serentak. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) perlu melakukan kalkulasi mendalam untuk menentukan sekolah mana yang benar-benar gratis, sekolah mana yang masih boleh memungut biaya, dan sekolah mana yang menolak menerima dana BOS karena tidak ingin dibatasi oleh ketentuan tersebut.
Selain masalah sekolah gratis, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini juga menyoroti kebingungan sekolah terkait aturan seragam baru setelah penerimaan siswa. Ia mempertanyakan aturan yang mewajibkan berbagai jenis seragam, termasuk seragam daerah, yang membebani orang tua.
"Apa iya memang mereka harus dipaksa membeli seragam. Yang kedua bagaimana dengan anak-anak yang tidak mampu kalau harus menggunakan seragam? Dari mana mereka akan mendapatkan seragam itu kalau beli mungkin sudah kesulitan," ujar dia.
Legislator Dapil DIY ini pun menekankan bahwa tujuan seragam untuk menghilangkan ketimpangan antara siswa kaya dan miskin menjadi tidak relevan jika justru memaksa keluarga tidak mampu untuk membeli seragam. Ia meminta pemerintah daerah dan pusat untuk mempertimbangkan kembali aturan seragam, terutama bagi siswa dari jalur afirmasi atau keluarga miskin.
Untuk itu, ia berharap pemerintah mengevaluasi kembali ketentuan seragam agar tidak memberatkan masyarakat, terutama yang kurang mampu. "Maka tentu saja pemerintah daerah dalam rangka termasuk pemerintah pusat ketika menetapkan afirmasi, maka kepada mereka itulah yang tidak bisa kita paksakan untuk membeli seragam. Bahkan yang lain pun tidak boleh dipaksa, tapi ketika ada uang bolehlah membayar. Artinya ketentuan mengenai seragam itu perlu dilihat kembali," kata MY Esti.