JAKARTA - Komisi I DPR RI menyoroti skema penganggaran Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) dalam struktur belanja Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) RI.
Hal ini disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sukamta saat Rapat Kerja Komisi I DPR RI bersama Menteri Komunikasi dan Digital, yang turut dihadiri Komisioner KPI Pusat, Komisioner KIP Pusat, serta Dewan Pers, Senin (7/7/2025) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Dalam pembahasan agenda laporan keuangan APBN Tahun Anggaran 2024 serta Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Kemkomdigi Tahun 2026, Sukamta menyoroti bahwa pagu indikatif Kemenkomdigi sebesar Rp7,7 triliun, di antaranya Rp5,5 triliun diperuntukkan bagi pengembangan dan penguatan infrastruktur digital yang sebagian besar dikendalikan oleh BAKTI.
“Kalau kita lihat BAKTI di tahun 2024, nilai operasionalnya mencapai Rp9,7 triliun. Artinya, kebutuhan untuk BAKTI bisa mencapai Rp12 triliun. Pertanyaannya, berapa yang untuk membangun infrastruktur dan berapa yang untuk operasional?” sorot Legislator Fraksi PKS tersebut.
Sukamta mempertanyakan kelanjutan pola pengelolaan yang selama ini menjadikan BAKTI sebagai semacam operator penuh yang mengelola dan mendanai seluruh infrastruktur digital menggunakan APBN. Ia menilai perlu ada kajian mendalam untuk mencari alternatif model kelembagaan yang lebih ramping namun fungsional.
“Apakah akan begini terus? Ini kan setiap tahun harus ada negosiasi anggaran yang bikin dag-dig-dug. Perlu dipikirkan apakah BAKTI akan terus berperan sebagai operator, ataukah ke depan kita buat lebih ramping, tapi tetap berfungsi penuh,” tegasnya.
Lebih lanjut, Sukamta juga mengkritisi alokasi tambahan kebutuhan anggaran sebesar Rp12,6 triliun. Berdasarkan paparan Kemenkomdigi, alokasi tersebut mencakup Rp7,7 triliun untuk BAKTI, Rp2,7 triliun untuk pengembangan ekosistem ruang digital, Rp1,7 triliun untuk manajemen, serta Rp303 miliar untuk IKPM.
Namun, menurutnya, anggaran yang diajukan sejauh ini lebih bersifat rutin dan operasional, sementara rincian kegiatan dan program utama belum ditampilkan secara jelas.
“Kegiatan-kegiatan program belum tampak dalam perencanaan yang disampaikan. Mohon ditayangkan ulang program-program apa saja yang direncanakan akan didanai dari anggaran tambahan tersebut. Supaya ketika Menkeu beri pelonggaran, kita sudah tahu betul arah kegiatannya,” tandasnya.
Sukamta juga meminta Kementerian menghadirkan dokumen atau surat resmi dari Kemenkeu dan Bappenas terkait usulan program agar pembahasan di Komisi I menjadi lebih komprehensif dan tidak harus berulang di kemudian hari.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menyampaikan bahwa pihaknya sedang merancang pola pelibatan pihak swasta, termasuk melalui skema Public-Private Partnership (PPP) untuk mengurangi beban operasional pemerintah.
“Prinsipnya kami ingin mencapai zero blank spot. Ini butuh kolaborasi. Saat ini sebagian besar anggaran memang habis untuk OM (Operational Maintenance), sementara pembangunan infrastruktur digital baru nyaris tidak ada,” terang Menkomdigi.
Menurutnya, masih ada sekitar 12.500 desa yang belum terjangkau jaringan sinyal. Untuk itu, Kemkomdigi membuka peluang bagi swasta masuk, antara lain melalui pelepasan spektrum frekuensi seperti di 700 MHz, 1,4 GHz, dan 2,6 GHz. Namun demikian, Menkomdigi menegaskan pentingnya prinsip kehati-hatian dan pengawasan ketat dalam pelaksanaan program ini.
“Jadi ini yang kita harapkan bisa menghidupkan swasta untuk berinvestasi dan kita tentu dapat membuat komitmen-komitmen bahwa siapapun nanti yang melakukan pembangunan, siapapun yang ditunjuk, akan membangun di daerah-daerah yang memang saat ini sinyalnya belum tertutupi. Itu rencana kami ke depan yang akan kita lakukan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian,” pungkas Menkomdigi.