• Sport

Lari Maraton Kini Jadi Primadona, Apa Sebabnya?

Vaza Diva | Minggu, 22/06/2025 14:30 WIB
Lari Maraton Kini Jadi Primadona, Apa Sebabnya? Ilustrasi - lomba lari maraton (Foto: WATCHATLETHICS)

Jakarta, Katakini.com - Dalam beberapa tahun terakhir, lomba lari maraton telah berkembang menjadi fenomena global yang lebih dari sekadar ajang olahraga.

Kini, bukan hanya atlet profesional yang berpartisipasi, tetapi juga jutaan orang dari berbagai kalangan yang menjadikan maraton sebagai simbol prestise, gaya hidup sehat, hingga bagian dari perjalanan wisata.

Popularitas maraton melonjak signifikan setelah berakhirnya masa pandemi COVID-19. Setelah lama dibatasi di dalam rumah, masyarakat mulai mencari cara untuk kembali aktif di luar ruangan.

Lari maraton pun menjadi pilihan ideal karena mampu menyatukan unsur kebugaran fisik, interaksi sosial, serta pengalaman personal yang mendalam.

Tak heran jika kini maraton digelar di berbagai kota besar dunia, menarik perhatian tak hanya pelari, tetapi juga wisatawan yang ingin merasakan atmosfer semarak dan semangat kebersamaan dalam satu lintasan panjang yang menguji stamina dan semangat.

Lebih dari sekadar berlari, ajang ini menawarkan pengalaman komunitas, semangat kompetisi sehat, dan pencapaian pribadi yang membanggakan.

Peningkatan peserta tidak hanya terjadi di kota-kota besar seperti New York, London, atau Berlin. Maraton lokal di Asia dan Afrika juga mulai dilirik pelari internasional. Hal ini seiring dengan tumbuhnya kesadaran global tentang pentingnya kesehatan mental dan fisik. Maraton pun menjadi simbol komitmen terhadap gaya hidup sehat dan berkelanjutan.

Aspek sosial juga menjadi faktor pendorong utama. Banyak peserta maraton berlari sambil menggalang dana untuk amal atau mengangkat isu-isu kemanusiaan. Maraton Boston misalnya, mencatat sumbangan amal lebih dari USD40 juta pada 2023. Ini menjadikan lari bukan hanya aktivitas fisik, tapi juga bentuk solidaritas sosial dan kepedulian.

Maraton kini juga menyatu dengan industri pariwisata dan ekonomi kreatif. Penyelenggara sering menggandeng UMKM lokal, menawarkan paket wisata, dan merancang jalur yang menampilkan keindahan kota. Bahkan, kota penyelenggara maraton bisa meraup pendapatan hingga ratusan juta dolar dari kunjungan wisatawan dan konsumsi peserta.

Fenomena ini turut dipengaruhi oleh media sosial. Banyak pelari pemula membagikan perjalanan mereka dari nol hingga garis finis. Narasi transformasi pribadi, baik untuk menurunkan berat badan, mengatasi depresi, atau mengejar mimpi, telah memperkuat daya tarik maraton di kalangan generasi muda.

Dengan gabungan antara olahraga, wisata, solidaritas, dan pencitraan diri, maraton kini menjadi lebih dari sekadar ajang lari jarak jauh. Ia telah menjadi gaya hidup global yang inklusif, inspiratif, dan terus berkembang. Maraton bukan hanya soal siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling kuat bertahan dan konsisten berproses.