• Sport

Mengulik Asal Usul Offside, Aturan Paling Kontroversial di Sepak Bola

Vaza Diva | Selasa, 17/06/2025 16:30 WIB
Mengulik Asal Usul Offside, Aturan Paling Kontroversial di Sepak Bola Ilustrasi - Offside (Foto: ISTIMEWA)

Jakarta, Katakini.com - Tak ada peraturan dalam sepak bola yang seintens dan sekontroversial offside. Dari stadion hingga tongkrongan pecinta bola, perdebatan seputar keputusan wasit terkait offside tak pernah absen menghiasi jalannya pertandingan.

Namun di balik kibasan bendera hakim garis, terdapat sejarah panjang yang membentuk dan mengubah aturan ini, menjadikannya bagian krusial dalam permainan yang terus berevolusi.

Sejak abad ke-19, konsep offside sudah dikenal, bahkan sebelum sepak bola memiliki aturan terpusat. Saat The Football Association (FA) di Inggris menetapkan peraturan resmi pertamanya pada tahun 1863, offside sudah dimasukkan sebagai bagian integral dari permainan.

Awalnya, peraturan ini sangat ketat, seorang pemain dianggap offside jika berdiri di depan bola saat menerima umpan dari rekan setim. Ketentuan ini membuat permainan sangat defensif, karena operan ke depan praktis mustahil dilakukan tanpa melanggar aturan.

Tahun 1866 menjadi momen penting ketika aturan mulai dilonggarkan: pemain hanya dianggap offside jika ada kurang dari tiga pemain bertahan di antara dirinya dan gawang lawan. Pelonggaran ini memberi ruang bagi operan menyerang dan mempercepat ritme pertandingan.

Namun, munculnya taktik pertahanan seperti "one-back game" membuat banyak serangan macet karena kerap terjebak offside. Hal ini mengurangi intensitas serangan dan membuat pertandingan terasa datar. Tekanan pun meningkat agar aturan kembali diperbarui.

Revolusi besar datang pada 13 Juni 1925, ketika International Football Association Board (IFAB) memutuskan untuk mengurangi jumlah pemain lawan yang dibutuhkan dalam garis offside dari tiga menjadi dua.

Dampaknya langsung terasa, yaitu jumlah gol meningkat tajam di berbagai liga, termasuk Liga Inggris yang mencatat lonjakan dari rata-rata 2,5 gol menjadi 3,4 gol per pertandingan.

Perubahan ini turut melahirkan inovasi taktik. Manajer legendaris Arsenal, Herbert Chapman, memperkenalkan formasi W-M sebagai adaptasi terhadap revisi aturan tersebut. Formasi ini memungkinkan tim bertahan lebih kokoh sekaligus memaksimalkan daya gedor di lini serang.

Tahun 1990, IFAB sekali lagi memperbarui definisi offside, menyatakan bahwa seorang pemain tidak dianggap offside jika sejajar dengan bek terakhir. Revisi ini dirancang untuk mendorong permainan menyerang dan mengurangi frekuensi pelanggaran offside pasif yang mengganggu kelancaran laga.

Memasuki era digital, aturan offside kembali menjadi sorotan. VAR (Video Assistant Referee) memperkenalkan presisi ekstrem dalam mengukur posisi pemain, namun pada saat yang sama menimbulkan kontroversi baru karena keputusan berbasis milidetik dan garis virtual yang terlalu kaku.

Menghadapi kritik tersebut, IFAB di tahun 2025 menyetujui uji coba usulan dari federasi sepak bola Swedia: offside hanya terjadi jika seluruh bagian tubuh penyerang berada di depan bek terakhir. Selama ada bagian tubuh yang sejajar, maka pemain dianggap onside.

Langkah ini diambil sebagai upaya untuk mengembalikan keseimbangan permainan dan mendorong kreativitas dalam serangan. Para pengamat menilai aturan baru ini lebih menguntungkan penyerang dan bisa membuat pertandingan kembali lebih menarik.

Dari aturan keras di masa lalu hingga intervensi teknologi dan reformasi progresif di masa kini, offside telah mengalami transformasi panjang. Ia bukan hanya sekadar aturan, tapi juga cerminan dari dinamika sepak bola yang terus mencari titik keseimbangan antara strategi bertahan dan daya pikat permainan menyerang.