Jakarta, Katakini.com - Kemajuan pesat sepak bola Jepang selama 20 tahun terakhir bukanlah hasil kebetulan atau proses instan. Tim nasional mereka kini menjadi kekuatan yang diperhitungkan di ajang Piala Dunia.
Kemenangan atas tim-tim besar seperti Jerman dan Spanyol menjadi bukti kematangan strategi dan kedalaman skuad yang merata. Jepang tampil solid dengan permainan tim yang terstruktur dan teknik individu yang unggul.
Sementara itu, Indonesia yang perlahan menapaki jalan menuju pentas dunia masih berkutat dengan berbagai persoalan mendasar, mulai dari infrastruktur hingga pembinaan usia dini.
Banyak yang berharap Garuda bisa menyusul langkah Samurai Biru. Namun, terdapat sejumlah aspek krusial yang masih menjadi tantangan besar untuk bisa menyamai standar Jepang dalam waktu dekat.
Setiap klub profesional di Jepang diwajibkan memiliki akademi mulai dari usia 10 tahun. Dari sinilah pemain dipoles dengan metodologi yang seragam dan filosofi yang jelas.
Di akademi, para pemain muda bukan hanya belajar teknik, tetapi juga disiplin dan kerja sama. Di Indonesia, akademi profesional yang terstruktur masih terbilang minim dan belum menjadi syarat mutlak dalam pengelolaan klub.
Jepang memiliki sistem kompetisi yang berjalan sepanjang tahun untuk level U‑12 hingga U‑18. Kompetisi ini melibatkan sekolah, akademi, dan klub regional, semua terhubung dalam struktur resmi yang dikelola Japan Football Association.
Indonesia punya turnamen usia muda, tapi masih bersifat sporadis dan belum menyentuh seluruh provinsi dengan sistem promosi-degradasi yang ketat.
Di Jepang, pemain SMA atau universitas yang dianggap menonjol bisa bermain di klub J‑League tanpa kehilangan status akademiknya. Skema ini memberi jalan mulus bagi transisi ke dunia profesional.
Indonesia belum memiliki sistem serupa yang menggabungkan pendidikan dan karier sepak bola secara paralel.
Jepang dikenal dengan budaya kerja sama, ketertiban, dan rasa tanggung jawab terhadap kelompok. Dalam sepak bola, nilai-nilai ini membentuk pemain yang siap bekerja untuk tim, bukan hanya menonjol secara individu.
Di Indonesia, pembinaan mental semacam ini masih tertinggal dan kerap bergantung pada pelatih masing-masing.
J‑League dikenal sebagai liga yang sehat secara finansial dan dikelola secara profesional. Klub-klub wajib memiliki rencana bisnis jangka panjang, struktur kepemilikan yang transparan, dan memenuhi lisensi klub profesional.
Sementara di Indonesia, ketidakstabilan manajemen klub dan ketergantungan pada satu sumber dana masih menjadi persoalan utama.
Sejak awal 2000-an, Jepang terus meningkatkan anggaran dan perhatian pada sepak bola anak-anak. Dari sekolah dasar hingga akademi regional, pelatih bersertifikat dikerahkan untuk membina pemain sejak dini.
Ini bukan proyek satu musim, tapi investasi jangka panjang yang dilakukan secara sistematis. Indonesia masih tertinggal jauh dalam hal ini, baik dari sisi jumlah pelatih, fasilitas, maupun dukungan federasi.
Salah satu kekuatan Jepang adalah liga sepak bola antar SMA dan universitas yang aktif dan mendapat sorotan nasional. Banyak pemain timnas Jepang merupakan jebolan liga sekolah, bukan hanya akademi klub.
Sistem ini menciptakan jalur pembinaan alternatif yang sangat kuat. Di Indonesia, liga pelajar masih belum terorganisasi secara rutin dan jarang mendapat eksposur serius.