Jakarta, Katakini.com - Di era digital saat ini, satu jempol bisa menjadi penyulut kegaduhan. Berita yang belum tentu benar, video yang direkayasa, hingga narasi penuh kebohongan kerap beredar begitu mudah dan cepat. Ironisnya, tak sedikit dari penyebar informasi palsu itu justru mengaku sebagai Muslim taat. Padahal, Islam punya sikap tegas terhadap hoaks.
Dalam ajaran Islam, menyebarkan berita bohong bukan perkara remeh. Ia bukan hanya sekadar salah langkah, tapi bisa menjadi dosa besar yang dampaknya merusak keharmonisan masyarakat dan menodai kebenaran.
Larangan menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya sudah ditegaskan dalam QS. Al-Hujurat: 6:
"Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu."
Ayat ini menjadi fondasi kuat bagi prinsip tabayyun—sikap meneliti dan memverifikasi informasi sebelum disebarkan. Sayangnya, prinsip ini sering kali dilupakan dalam budaya share before think.
Rasulullah SAW juga memberi peringatan keras dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim:
"Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta bila ia mengatakan segala sesuatu yang ia dengar."
Hadis ini sangat relevan dalam dunia media sosial hari ini, di mana banyak orang asal membagikan informasi tanpa menyaring atau mengecek validitasnya. Bahkan, jika kita mengetahui sebuah informasi tidak benar namun tetap menyebarkannya, dosa yang ditanggung menjadi berlipat.
Lebih mengerikan lagi, penyebaran hoaks yang bersifat memecah-belah atau mencemarkan nama orang lain bisa masuk ke dalam kategori fitnah, yang dalam Al-Qur’an disebut lebih kejam dari pembunuhan.
"Fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan."
(QS. Al-Baqarah: 191)
Fitnah berbasis hoaks dapat menghancurkan reputasi seseorang, memecah belah umat, bahkan memicu kerusuhan sosial. Maka tak heran jika Islam memberikan perhatian besar terhadap lisan dan tulisan umatnya.
Ulama kontemporer sepakat bahwa menyebarkan hoaks melalui WhatsApp, Facebook, atau TikTok tetap tergolong ghibah, namimah, atau kedustaan, tergantung pada isi dan niatnya. Karena itu, prinsip “saring sebelum sharing” bukan hanya etika digital, tapi juga perintah moral dalam Islam.
Media sosial memang memberi kita kekuatan menyuarakan opini dan menyebarkan informasi. Tapi kekuatan itu seharusnya digunakan untuk menyebar kebaikan, bukan menjadi perpanjangan tangan bagi kebohongan.
Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam."
(HR. Bukhari dan Muslim)