Jakarta, Katakini.com - Lupus merupakan salah satu penyakit autoimun kronis yang sering kali terlambat terdeteksi karena gejalanya yang sangat beragam. Dalam kondisi normal, sistem imun tubuh berfungsi untuk melindungi tubuh dari infeksi.
Namun pada penderita lupus, sistem imun justru menyerang jaringan tubuh sendiri. Serangan ini menyebabkan peradangan yang bisa berdampak pada berbagai organ tubuh, seperti kulit, sendi, ginjal, paru-paru, hingga otak.
Penyakit ini dikenal dengan nama medis Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Lupus sering dijuluki sebagai “penyakit seribu wajah” karena gejalanya yang sangat beragam dan kerap menyerupai penyakit lain.
Hal inilah yang menyebabkan proses diagnosis lupus tidak mudah. Penderita bisa mengalami gejala ringan yang bersifat sementara, hingga gejala berat yang mengancam jiwa.
Wanita usia produktif, khususnya antara 15 hingga 45 tahun, merupakan kelompok yang paling rentan terhadap penyakit ini.
Beberapa gejala umum lupus antara lain kelelahan berlebih, nyeri sendi, demam tanpa sebab yang jelas, hingga munculnya ruam berbentuk kupu-kupu di wajah.
Selain itu, penderita juga bisa mengalami sariawan yang tidak kunjung sembuh, rambut rontok, dan nyeri dada saat menarik napas dalam. Gejala-gejala tersebut bisa datang secara bertahap ataupun tiba-tiba, dan sering mengalami fase remisi dan kambuh.
Penyebab lupus hingga kini masih belum diketahui secara pasti. Namun, para peneliti menduga bahwa penyakit ini disebabkan oleh kombinasi antara faktor genetik, hormon, dan lingkungan.
Seseorang yang memiliki riwayat keluarga dengan lupus atau penyakit autoimun lainnya lebih berisiko mengidap lupus. Hormon estrogen yang lebih dominan pada wanita juga disebut berpengaruh terhadap meningkatnya risiko.
Selain itu, faktor pemicu seperti paparan sinar ultraviolet, infeksi virus, dan konsumsi obat-obatan tertentu juga bisa memunculkan gejala lupus pada individu yang rentan.
Lupus terbagi menjadi beberapa jenis. Jenis yang paling umum adalah Systemic Lupus Erythematosus yang dapat memengaruhi hampir seluruh bagian tubuh.
Ada pula lupus kulit yang hanya menyerang jaringan kulit, lupus akibat obat-obatan yang biasanya membaik setelah penghentian obat, dan lupus neonatal yang sangat jarang dan menyerang bayi yang lahir dari ibu pengidap lupus atau memiliki antibodi autoimun.
Untuk memastikan diagnosis lupus, dokter biasanya melakukan pemeriksaan fisik, wawancara riwayat kesehatan, serta serangkaian tes darah dan urin. Salah satu tes yang umum digunakan adalah tes ANA (Antinuclear Antibody) yang mendeteksi keberadaan antibodi dalam darah.
Diagnosis yang akurat sangat penting karena pengobatan lupus bersifat jangka panjang dan bertujuan untuk mengendalikan peradangan serta mencegah kerusakan organ.
Meski belum ada obat yang benar-benar menyembuhkan lupus, pengobatan yang tepat bisa membantu penderita menjalani kehidupan normal. Penggunaan obat-obatan seperti antiinflamasi, kortikosteroid, antimalaria, dan imunosupresan menjadi terapi utama untuk mengontrol gejala.
Selain itu, pola hidup sehat, menghindari stres, dan rutin memeriksakan diri ke dokter merupakan bagian penting dalam pengelolaan lupus.