• News

Mengapa Anak Menjadi Stunting? Begini Penjelasan Dr Hasto Wardoyo

Tri Umardini | Senin, 11/03/2024 22:01 WIB
Mengapa Anak Menjadi Stunting? Begini Penjelasan Dr Hasto Wardoyo Kepala BKKBN RI Dr Hasto Wardoyo Sp OG(K) di acara Media Gathering BKKBN `Strategi Indonesia Turunkan Stunting` di Yogyakarta, 7-9 Maret 2024. (FOTO: TIM HUMAS BKKBN)

YOGYAKARTA - Banyak faktor yang menyebabkan anak baik balita maupun baduta (bayi di bawah usia dua tahun) menjadi stunting.

Berikut sederet fakta mengapa anak menjadi stunting dan penjelasan dari Kepala BKKBN RI Dr Hasto Wardoyo Sp OG(K) di acara Media Gathering BKKBN bersama jurnalis dari 17 media massa bertema "Strategi Indonesia Turunkan Stunting" yang digelar pada 7-9 Maret 2024 di Hotel Kimaya, Jalan Jenderal Sudirman, Yogyakarta.

Mengapa anak menjadi stunting?

Keluarga Risiko Tinggi (KRT)

Dilihat dari penapisan faktor lingkungan nasional, kategori KRT adalah keluarga yang tinggal di rumah tak layak huni, sanitasi buruk, dan sumber air minum yang juga tidak baik (tercemar).

Pasangan Usia Subur (PUS) Bukan Peserta KB Modern

Dr Hasto Wardoyo memaparkan, Keluarga Berisiko Stunting Menurut Pasangan Usia Subur (PUS) Bukan Peserta KB Modern terdiri dari empat kategori yaitu:

- Pasangan Usia Subur Terlalu Muda Bukan Peserta KB Modern
- Pasangan Usia Subur Terlalu Dekat Bukan Peserta KB Modern
- Pasangan Usia Subur Terlalu Tua Bukan Peserta KB Modern
- Pasangan Usia Subur Terlalu Banyak Bukan Peserta KB Modern

"Orangtua terlalu muda, terlalu tua, terlalu banyak anak, dan terlalu sering (jarak melahirkan anak terlalu dekat) juga merupakan penyebab anak stunting," ujar Dr Hasto Wardoyo.

Dia menambahkan, tiga kategori PUS jumlahnya menurun, yang tidak bagus adalah PUS Terlalu Muda.

"Karena masih muda jadi gampang hamil tapi tidak mau KB. Ini yang perlu diturunkan," tutur Dr Hasto Wardoyo.

Tingkat Pendidikan Ibu

Semakin tinggi pendidikan ibu, maka semakin kecil pula risiko anak lahir stunting. Pasalnya dengan semakin luasnya pengetahuan yang dimiliki ibu, akan berpengaruh pula terhadap pola asuh terutama dalam memberikan asupan gizi untuk tumbuh kembang anak.

Kemiskinan

Kondisi kesejahteraan keluarga yang kurang tidak bisa memenuhi asupan gizi saat ibu hamil dan selama masa pertumbuhan anak.

Calon Pengantin Abai Kesehatan

Menurut Dr Hasto Wardoyo untuk mencegah bayi lahir stunting harus dimulai sejak dini.

"Dimulai dari calon pengantin yang harus sadar kesehatannya," kata Dr Hasto Wardoyo.

Hasil skrining calon pengantin tercatat 163.675 dalam kurun waktu Januari-Agustus 2023. Dari jumlah tersebut sebanyak 30.426 (18,6%) belum melakukan pemeriksaan HB.

"Padahal penting untuk mengetahui HB karena jika hamil HB-nya rendah dan anemia berat bisa menyebabkan anak lahir stunting," pungkas Dr Hasto Wardoyo.

Bagaimana Realisasi Penurunan Stunting di Indonesia?

Menurut Dr Hasto Wardoyo Tren Jumlah Keluarga Berisiko Stunting Nasional 2021-2023 angkanya menurun.

Dia memaparkan, dari jumlah 21.906.625 (2021) turun menjadi 13.511.649 (2022). Kemudian 13.123.418 (2023 semester I) turun lagi menjadi 11.896.367 (2023 semester II). Ini dilihat dari jumlah keluarga 72.542.202 dengan keluarga sasaran adalah keluarga memiliki ibu hamil atau anak usia 0-59 bulan berjumlah 39.773.686.

Berdasarkan pusat Data dan Informasi Kemenkes, dari tahun 2013-2019, rata-rata penurunan prevalensi balita stunting 1,3% per tahun.

Penurunan prevalensi stunting tahun 2021-2022 adalah 2,8% per tahun. "Untuk menuju 14% dibutuhkan penurunan 3,8% per tahun," kata Dr Hasto Wardoyo.

Sementara untuk baduta (bayi di bawah usia dua tahun), target persen penurunan baduta stunting 2020-2024 bersumber dari Renstra BKKBN 2020-2024. Dilakukan penyesuaian indikasi target dalam perjanjian kinerja 2022-2024. Pada 2022 (21%); 2023 (17%), dan 2024 (14%).

Terjadi penurunan baduta stunting sebesar 10% selama 2020-2022. Persentase penurunan baduta stunting 3,36% per tahun.

Realisasi Penurunan KRT

Hal yang menggembirakan adalah KRT turun. "Meski KRT turun, belum langsung hari ini juga stunting turun. Hanya saja faktor risikonya turun," jelas Dr Hasto Wardoyo.

Berdasarkan data BKKBN Keluarga Berisiko Stunting Nasional 2021-2023 terdapat 72.542.202 jumlah keluarga. Dengan Keluarga Sasaran 39.773.686, ada 11.896.367 Keluarga Berisiko Stunting.

Pada 2023 (Semester I) Keluarga Berisiko Stunting tercatat 13.123.418. Pada Semester II turun menjadi 11.896.367.

Keluarga Berisiko Stunting Memiliki Rumah Tidak Layak Huni pada tahun 2023 (Semester I) tercatat 9.076.335 turun menjadi 8.049.604 (Semester II).

Kemudian KRT dengan Sanitasi Tidak Layak juga mengalami penurunan. Pada 2023 (Semester I) tercatat 6.750.216 menurun menjadi 6.299.565 (Semester II).

"Dulu pada 2021-2022, masyarakat bilang tak punya jamban sehingga mereka BAB di sungai. Lantas dibangunkan oleh Dinas PU. Tapi begitu sudah dibangun, mereka tetap BAB di sungai karena merasa lebih nyaman," ungkap Dr Hasto Wardoyo.

Perilaku ini menjadi tantangan tersendiri bagi BKKBN karena meski sudah memahami bahwa BAB di sungai bisa menimbulkan diare tetap juga sulit mengubah kebiasaan.

Selanjutnya KRT dengan Sumber Air Minum Tidak Layak pada 2023 (Semester I) tercatat 3.121.006 turun menjadi 2.611.453 (Semester II).

Realisasi Penurunan Pasangan Usia Subur Bukan Peserta KB Modern

Berdasarkan Data BKKBN Keluarga Berisiko Stunting Kondisi PUS 4 Terlalu Tidak Menggunakan KB Modern Nasional 2023

- Pasangan Usia Subur Terlalu Muda
Semester I: 45.735.000
Semester II: 48.838.000 (naik)

- Pasangan Usia Subur Terlalu Dekat
Semester I: 56.299.000
Semester II: 54.627.000

- Pasangan Usia Subur Terlalu Tua
Semester I: 3.305.969
Semester II: 2.913.064

- Pasangan Usia Subur Terlalu Banyak
Semester I: 2.989.040
Semester II: 2.651.352

Realisasi Penurunan Tingkat Pendidikan Rendah Ibu

"Pendidikan ibu semakin baik. Contoh pendidikan rendah tidak lulus SD menurun tetapi ibu berpendidikan tinggi naik. Kondisi ini jadi lebih baik," ujar Dr Hasto Wardoyo.

Hal ini dibuktikan dengan data BKKBN Jumlah Keluarga Berisiko Stunting Berdasarkan Pendidikan Terakhir Ibu Nasional 2022-2023.

Ibu berpendidikan rendah (tidak sekolah/SD) tercatat 5.658.816 (2022) turun menjadi 5.006.473 (2023).

Ibu berpendidikan menengah (SLTP/SLTA) tercatat 6.727.052 (2022) turun menjadi 6.460.656 (2023).

Ibu berpendidikan tinggi (Perguruan Tinggi) tercatat 1.125.781 naik menjadi 1.132.876 (2023).

Realisasi Kemiskinan Menurun

Menurut Dr Hasto Wardoyo, adanya gerakan menurunkan angka kemiskinan secara ekstrem, hal ini berimbas pada tingkat kesejahteraan keluarga menjadi lebih baik.

Berdasarkan Pemutakhiran PK Data P3KE 2023, jumlah Keluarga Sasaran Berisiko Stunting pada Peringkat Kesejateraan 1-4 tercatat 7.673.541 (2022) turun menjadi 6.963.281 (2023).

Sementara Keluarga Berisiko Menurut Peringkat Kesejahteraan 1-4 tercatat:

Tingkat Kesejahteraan 1
2.417.028 (2022) turun menjadi 2.305.701 (2023)

Tingkat Kesejateraan 2
2.016.598 (2022) turun menjadi 1.828.440 (2023)

Tingkat Kesejateraan 3
1.738.579 (2022) turun menjadi 1.424.650 (2023)

Tingkat Kesejahteraan 4
1.501.579 (2022) turun menjadi 1.404.490 (2023)
(*)

 

 

 

FOLLOW US