• News

Keumatan dan Kebangsaan Bisa Disatukan Bila Threshold Dihapus

Aliyuddin Sofyan | Kamis, 21/12/2023 10:18 WIB
Keumatan dan Kebangsaan Bisa Disatukan Bila Threshold Dihapus Gelora Talks bertajuk Pilpres 2024: Menyatukan Semangat Keumatan dan Kebangsaan, Rabu (20/12/2023) sore. Foto: tangkapanlayar

JAKARTA - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menyoroti dua isu penting yang kerap muncul di tiap gelaran pemilihan umum (Pemilu). Yakni isu keumatan dan isu kebangsaan yang selalu dipertentangkan.

Perbaikan sistem Pemilu seperti menghilangkan threshold atau ambang batas dinilainya bisa menyerap identitas atau keragaman di masyarakat.

"Dengan perbaikan sistem ini, supaya energi kita semuanya tersalurkan, semua orang puas dengan pilihan-pilihanya, walaupun tidak akan mencapai tujuannya. Tapi paling tidak akan menjaga kita semua sebagai bangsa," kata Anis Matta dalam Gelora Talks bertajuk `Pilpres 2024: Menyatukan Semangat Keumatan dan Kebangsaan`, Rabu (20/12/2023) sore.

Diskusi yang dipandu Wakil Sekretaris Jenderal Partai Gelora Dedi Miing Gumelar ini, dihadiri Tokoh Nasional Agum Gumelar dan Pakar Komunikasi Effendi Gazali sebagai narasumber.

Anis juga mengatakan, peran para tokoh sesepuh bangsa seperti Pak Agum Gumelar ini, memposisikan dirinya sebagai pemersatu bangsa. Karena konsep mereka memang untuk memastikan bagaimana bangsa ini agar on the track.

Anis Matta menilai pembelahan di kanan, kiri dan tengah merupakan warisan politik jauh sebelum Indonesia merdeka.

"Warisan pembelahan ini diperkuat lagi di zaman Orde Baru, karena partai-partai kanan dilebur menjadi satu, PPP. Sedangkan yang kiri dilebur menjadi PDIP, dan tengah ada Golkar," katanya.

Persoalan fundamental yang harus diselesaikan dalam jangka menengah dan jangka panjang terkait pembelahan, adalah masalah polarisasi politik. Polarisasi terjadi, pada dasarnya karena tingkat pendidikan masyarakat yang relatif rendah.

Karena itu, kata Anis Matta, masalah pendidikan dan kesejahteraan menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia.

"Kalau kualitas masyarakat ada pada sisi pendidikan dan sisi kesejahteraannya sudah kita perbaiki, mungkin masyarakat tidak akan terlalu gampang lagi dipolarisasi dan akan mengedepankan semangat kebangsaan," katanya.

Lebih Kondusif
Sementara itu, Tokoh Nasional Agum Gumelar mengatakan, untuk menyelesaikan masalah keumatan dan kebangsaan diperlukan kesepakatan yang mendasar tentang kebersamaan kita sebagai bangsa.

"Ada tonggak sejarah yang bisa kita lihat, dimana Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 1945 dan menjadikan Pancasila sebagai alat pemersatu. Sehingga ketika ada upaya untuk mengganti Pancasila dengan paham lain, harus diluruskan karena tidak menghargai para pejuang kemerdekaan.

"Kita harus menentukan satu langkah ke depan yang lebih kreatif, karena Pilpres 2019 lalu, adalah Pilpres yang sangat tidak kondusif, membuat masyarakat dan bangsa ini terpecah dan terpolarisasi. Kemudian menyongsong Pemilu 2024 dengan semangat persatuan, menjadikan pemilu sekarang lebih kondusif dan demokratis.

Menurut Agum, ada tiga unsur utama yang berperan menjaga agar Pemilu 2024 lebih kondusif. Pertama adalah partai politik (parpol) yang menciptakan kaderisasi dan koalisi-koalisi. Dimana lebih dewasa dalam menentukan calon dan membaca aspirasi rakyat.

"Unsur kedua adalah KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Kita berharap agar KPU lebih profesional, lebih netral dan tidak berpihak," kata Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas ini.

Unsur ketiga, kata Agum, adalah rakyat pemilih punya kewajiban moral untuk mendewasakan dalam proses berdemokrasi. Berbeda pilihan itu merupakan hal wajar, dan sifatnya adalah sementara.

"Dan ini harus berakhir ketika Pilpres selesai, begitu selesai tidak ada perbedaan lagi. Hormati apapun yang menjadi keputusan demokrasi, realita politiknya. Itulah sikap dewasa yang harus kita tonjolkan, Insya Allah Pemilu 2024 tidak akan separah 2019. Itu harapan kami," katanya.

Tidak Perlu Threshold
Sedangkan Pakar Komunikasi Effendi Gazali mengatakan, untuk menyatukan semangat keumatan dan kebangsaan, sudah sepatutnya menghilangkan threshold atau ambang batas pemilihan presiden dalam Pemilu Serentak.

"Sehingga orang tidak perlu masuk dalam tanda petik, melakukan manipulasi terhadap dirinya sendiri, pemilih, KPU, serta sikap-sikap kita sebelum dan sesudah Pemilu," katanya.

Ketika semua kelompok di masyarakat dan partai diberikan kebebasan untuk mengajukan calon presidennya. Jika acuannya berdasarkan Pemilu 2019, maka semuanya boleh,  partai atau gabungan partai bisa mengajukan capresnya, serta tidak menutup kemungkinan partai baru mengajukan capres juga.

"Kalau MK dulu mengabulkan gugatan kita tidak ada threshold, maka orang bisa milih. Dan dasar kita adalah 17 tahun, sudah bisa dipilih dan memilih, bukan dasar 35 atau 40 tahun," katanya.

Usulan yang disampaikannya ini adalah bentuk pendekatan sistemik dengan memberikan kebebasan semua parpol bisa mengusung calon. Sebab, dampak pembelahan dari pemberlakuan threshold bisa merusak pertemanan, keluarga dan lain-lain.

Selain itu, Effendi juga mengusulkan agar mekanisme Pemilu Serentak juga diubah menjadi dua kali, Pemilu Serentak nasional dan daerah.

Pemilu Serentak nasional digelar untuk Pemilu Legislatif (Pileg) DPR dan DPD, serta Pilpres. Sementara Pemilu Serentak daerah untuk memilih Pileg Anggota DPRD I dan II, serta Pilkada.

FOLLOW US