• News

Kualitas Udara Kian Buruk, Semoga Kiamat Tak Datang Lebih Cepat

Pamudji Slamet | Jum'at, 24/11/2023 20:16 WIB
Kualitas Udara Kian Buruk, Semoga Kiamat Tak Datang Lebih Cepat Ilustrasi

JAKARTA - Memburuknya kualitas udara di kota-kota besar, khususnya Jakarta, dipicu oleh tingginya emisi dari sektor transportasi. Jika tidak ingin kiamat datang lebih cepat maka diperlukan tindakan tegas guna menekan emisi di sektor tersebut.

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menyampaikan pandangan itu dalam media briefing bertajuk "Sinergitas Sektor Transportasi dan Sektor Energi Untuk Mewujudkan Kualitas Udara Bersih di Kota Jakarta, dan Kota-kota Besar di Indonesia" secara daring, yang dipantau dari Jakarta, Rabu (15/11/2023). Acara ini digelar oleh KBR yang bekerjasama dengan YLKI. Pembahasan dengan tema senada juga diperdalam dalam diskusi publik yang dilaksanakan keesokan harinya, Kamis (16/11/2023).

Tulus menyoroti secara khusus pemburukan kualitas udara di wilayah DKI Jakarta sebagai kawasan aglomerasi terbesar di Indonesia. Menurut dia, pemburukan kualitas udara Jakarta banyak dipengaruhi oleh tingginya emisi sektor transportasi., khususnya dari kendaraan pribadi.

"Bayangkan, ada 24,5 juta sepeda motor bertebaran seperti tawon di Jakarta, " kata Tulus. Tak hanya sepeda motor, lanjut dia, mobil-mobil pribadi yang berseliweran di jalanan juga turut menyumbang emisi.

"Itu terjadi karena di Jakarta belum ada pengendalian kepemilikan kendaraan pribadi," ujar dia.

Di sisi lain, masih masifnya penggunaan kendaraan pribadi berbanding lurus dengan tingginya konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM), yang berbasiskan energo fosil. Padahal, BBM dari energi fosil ini lah biang kerok dari meningkatnya emisi.

Tingginya konsumsi BBM fosil, kata Tulus, erat kaitannya dengan tingginya subsidi.

"Terakhir saya cek, hingga Agustus 2023, subsidi BBM mencapat Rp61 triliun," jelas dia.

Yang menjadi pertanyaan, lanjut Tulus, kenapa subsidi diberikan kepada BBM dengan emisi tinggi. Yakni BBM yang berdaya bakar atau ber-octan rendah.

Pandangan senada disampaikan oleh Ketua Umum DPN Koalisi Indonesia Lestari (KAWALI) Puput TD Putra. Dalam pandangannya, pemburukan kualitas udara tidak bisa dilepaskan dari politik BBM.

`Politik BBM tidak pro bahan bakar bersih. BBM yang kotor malah diberi subsidi," kata Puput.

Pemakaian BBM bersih, sejatinya, berbanding lurus dengan kadar emisi. Hal ini terlihat ketika dilakukan uji emisi. Keterangan dari pihak Dinas Lingkungam Hidup DKI Jakarta, yang disampaikan dalam kesempatan sama, menyebutkan, salah satu faktor kelulusan uji emisi adalah pemakaian BBM bersih.

Hanya saja, kuantitas kendaraan yang memakai BBM bersih diduga masih belum banyak. Hal ini tecermin dari masih tingginya kendaraan pribadi yang tidak lulus uji emisi.

Keterangan pihak Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menyatakan, dari enam juta populasi sepeda motor di Jakarta, baru 29,8 persen yang melakukan uji emisi. Dari yang melakukan uji emisi tersebut, sebanyak 9,8 persen tidak lulus. Selanjutnya dari empat juta populasi mobil di Ibu Kota, baru 0,79 persen yang melakukan uji emisi. Dan dari yang melalukan uji emisi, sebanyak 14,2 persen tidak lulus.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kendaraan tidak lulus uji emisi, diantaranya teknologi, spare part, dan jenis BBM yang digunakan.

Sementara itiu, pemburukan kualitas udara, manurut Tulus juga dipicu oleh masih adanya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di sekitar Jabodetabek yang tidak tersertifikasi. Udara Jabodetabek tercemari oleh asap yang datang dari PLTU tersebut.

"Pihak KLHK harus turun gunung. Lakukan tindakan tegas agar PLTU mau melalukan pengujian agar mengantongi sertifkat green proper. Kalau mereka tidak mau, ya sudah tutup saja, suntik mati," ujar Tulus.

Lantas, bagaimana menekan pemburukan kualitas udara, khususnya di wilayah DKI Jakarta? Beberapa pandangan mengemuka dalam diskusi publik, yang diikuti oleh lintas kalangan tersebut, yakni:

1. Kampanye penyelematan lingkungan secara masif, khususnya di media sosial.
2. Perubahan gaya hidup, yang lebih pro lingkungan.
3. Perubahan cara pikir atau mindset dari penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi massal.
4. Penerapan kebijakan tilang emisi dan uji emisi kendaraan pribadi secara masif.
5. Penguatan integrasi antar moda transportasi massal.
6. Peningkatkan kualitas layanan transportasi masaal, agar lebih ramah wanita, anak-anak, dan lansia

"Semua kebiasaan dan perbuatan yang meningkatkan pemburukan udara harus dihentikan. Jangan sampai kiamat datang lebih cepat karena ulah kita sendiri," ujar Tulus.

 

FOLLOW US