Foto: bwcf
JAKARTA - BWCF (Borobudur Writers and Cultural Festival) kembali menggelar sebuah festival yang merayakan pemikiran Prof. Dr. Edi Sedyawati, Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (1993-1998) di Malang, Jawa Timur 23-27 November 2023.
Di festival tahunan ini sejumlah acara akan digelar, mulai dari pidato kebudayaan, launching buku, dokumenter, lecture, bazar buku, serta workshop yang berkaitan dengan dunia arkeologi dan tari yang digeluti oleh Prof. Edi, hingga pergelaran seni pertunjukan dan sastra akan dilaksanakan.
Dalam keterangan tertulis yang diterima katakini.com, Selasa (14/11/2023), disebutkan bahwa almarhum Prof. Edi adalah sosok intelektual yang memiliki banyak dimensi pemikiran. Dia adalah seorang arkeolog yang mumpuni, seorang pengamat tari (dan juga penari) yang luas pengetahuannya akan karya tari baik tradisi maupun modern, serta seorang birokrat kebudayaan yang memiliki pengaruh sangat besar dalam kebijakan-kebijakannya.
“Di zaman Prof. Edi, seni dan kebudayaan seolah menjadi roh, bagian dari jiwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.”
Prof. Edi wafat pada 11 November tahun lalu dalam usianya yang ke 84 tahun. November tahun ini adalah setahun meninggalnya Prof. Edi.
Sedangkan BWCF adalah sebuah festival tahunan yang selalu berusaha menonjolkan relevansi pemikiran-pemikiran mengenai nusantara dalam kehidupan.
Dalam 12 tahun perjalanannya, BWCF selalu mengangkat kajian-kajian serius tentang topik tertentu dalam khazanah nusantara. Selalu dalam setiap penyelenggaraanya, BWCF mendatangkan puluhan pakar lintas disiplin dari arkeologi, sejarah, antropologi sampai filologi.
Diharapkan dengan adanya forum ini, kekayaan pemikiran nusantara dapat terangkat kembali dan dikenali oleh khalayak luas termasuk generasi milenial.
Salah satu strategi BWCF berkaitan dengan hal itu berusaha mengangkat kembali disertasi atau buku monumental seorang ilmuawan yang mengkaji nusantara untuk dieksplorasi gagasan-gagasannya demi pemajuan kesenian dan kebudayaan kontemporer Indonesia.
Di antaranya, BWCF pernah mengangkat tema Ratu Adil yang dibahas dalam disertasi milik sejarawan Peter Carey mengenai Diponegoro. Selain itu, BWCF sebelumnya juga pernah mengangkat disertasi milik Romo Zoetmulder tentang teologi Jawa yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Serta pemikiran Claire Holt, peneliti Amerika yang di tahun 60-an menulis sebuah buku sangat berpengaruh di lingkungan akademis tentang sejarah seni di nusantara dengan judul Art in Indonesia: Continuities and Change.
Tahun 2022, BWCF mengangkat pemikiran almarhum arkeolog Hariani Santiko, rekan kerja Edi Sedyawati yang wafat lebih dahulu. Disertasi Hariani yang dipertahankan di Universitas Indonesia tahun 1987 berjudul Kedudukan Batari Durga di Jawa pada Abad X-XV Masehi.
“Disertasi tersebut kami anggap sangat penting dan langka karena menyajikan data dan dokumen mengenai salah satu heritage arkeologi kita yang hebat tetapi dilupakan dan jarang dibahas: arca-arca Durga.”
“Tahun 2023 ini, giliran spektrum pemikiran Edi Sedyawati yang kami pilih sebagai tema utama BWCF. Disertasi Edi Sedyawati berjudul Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian sama pentingnya dengan disertasi Hariani Santiko.”
Durga (Parwati), Agastya dan Ganesha dikenal adalah pantheon utama Hindu. Mereka adalah keluarga Siwa. Di setiap candi Hindu di Jawa selalu ada arca Durga, Ganesa, Agatsya (utusan Siwa). Ganesha dikenal dengan banyak nama, antara lain: Ganapati (pemimpin para Ghana), Vighnesvara (pengendali halangan), Vinayaka (pemimpin utama), Gajanana (yang berwajah gajah), Gajadhipati (dewa para gajah), Lambkarna (yang bertelinga lebar), Lambodara (yang berperut besar), Ekadanta (bergading tunggal).
“Secara keseluruhan Ganesha adalah dewa pengetahuan juga seorang dewa perwira yang bisa mengatasi musuh, halangan, dan rintangan.”