• Bisnis

Demokratisasi Energi, Ketika Rakyat Dipercaya Penuhi Listriknya Sendiri

Pamudji Slamet | Senin, 06/11/2023 15:58 WIB
Demokratisasi Energi, Ketika Rakyat Dipercaya Penuhi Listriknya Sendiri Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Angin

JAKARTA - Rakyat harus mendapat kepercayaan untuk memenuhi kebutuhan listriknya sendiri. Jika ini tercapai, maka sesungguhnga demokratisasi energi telah terjadi.

Anggota Dewan Pengarah BRIN, Tri Mumpuni menyampaikan pernyataan tersebut dalam webinar bertajuk "Energi,Polusi,dan Urgensi Energi Bersih dan Terbarukan" yang diikuti dari Jakarta, Senin (6/11/2023). Diskusi daring (dalam jaringan) ini diselenggarakan oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI).

Kunci demokratisasi energi adalah terbukanya kesempatan bagi rakyat untuk mengurus kebutuhan listriknya sendiri.

"Rakyat diberi kepercayaan untuk  memenuhi kebutuhan listriknya sendiri. Itu (baru) namanya demokratisasi energi," ujar Tri Mumpuni.

Demokratisasi energi, menurut Tri, bisa diwujudkan melalui pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Beberapa sumber energi yang bisa diserahkan pengembangan dan pengelolaannya kepada rakyat, diantaranya mikro hidro, angin, bio massa, panas bumi skala kecil, panel surya, dan lain-lain.

"Energi terbarukan berbasis masyarakat banyak potensinya. Ini menjadi alat untuk memakmurkan rakyat," kata Tri Mumpuni.

Menurut Tri, pemerintah perlu terus didorong untuk memperkuat demokratisasi energi. Salah satunya, dengan memahamkan rakyat tentang teknologi pengembangan energi baru dan terbarukan.

Demokratisasi energi, lanjut Tri, sangat efektif diterapkan di wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T), yang belum tersentuh infrastruktur jaringan listrik.

"Di wilayah 3 T, harus ada demokratisasi energi. Terlebih ada 51 juta jiwa rakyat di wilayah ini yang belum menikmati listrik," jelas Tri Mumpuni.

Sementara itu, Agus Pratama Sari, CEO Lansscape Indonesia, pembicara lain dalam webinar yang sama menyoroti kerusakan lingkungan akibat pemakaian energi berbasis fosil. Tingginya emisi dari pemakaian energi tersebut menjadikan suhu bumi semakin mendidih.

"Juli 2023 merupakan bulan terpanas dalam sejarah hidup manusia," kata Agus menegaskan seriusnya kenaikan suhu bumi yang dipicu oleh emisi energi fosil.

Dampak buruk energi fosil, menurut Agus, merupakan tanda bahaya akan terjadinya kerusakan bumi. 

"Manusia tidak bisa beradu cepat dan beradaptasi dengan dampak kerusakan bumi" ujar dia.

Ironinya, lanjut Agus, meski mengerti dampak buruknya bagi bumi, pelaku industri tetap dan masih merencanakan pemakaian sumber energi fosil. Sebab, energi ini masih memberi profit besar.

Di sisi lain, transisi energi dari fosil ke terbarukan juga tidak bisa dilakukan secara gegabah.

"Ada dampak-dampak transisi energi yang harus dipertimbangkan. Diantaranya, hilangnya pekerjaan bagi pekerja yang bekerja di energi fosil. Selain itu ekonomi wilayah penghasil energi fosil juga pasti terdampak," papar Agus.

 

 

 

 

FOLLOW US