• News

MTI: Polusi Jakarta Akibat Inkonsistensi Kebijakan Perbaikan Kualitas Udara

Yahya Sukamdani | Jum'at, 01/09/2023 20:18 WIB
MTI: Polusi Jakarta Akibat Inkonsistensi Kebijakan Perbaikan Kualitas Udara Polusi udara di Kota Jakarta. (FOTO: ANTARA)

JAKARTA - Polusi parah udara Jakarta merupakan hasil dari inkonsistensi pelaksanaan kebijakan perbaikan kualitas udara seperti transisi energi, net zero emission, green economy, dan lain sebagianya.

Masyarakat Trasportasi Indonesia (MTI) menyampaikan, kebijakan yang diambil seyogianya menghindari upaya jangka pendek yang kurang memiliki efek segera dan yang berpotensi kontraproduktif pada upaya jangka panjang.

Semua upaya penanganan polusi udara hendaknya bersifat terintegrasi multisektoral berbasis perencanaan matang. Perbaikan kualitas BBM, penegakan aturan standar emisi kendaraan, peralihan ke kendaraan umum, serta pembatasan kegiatan perjalanan fisik melalui fasilitas telekomunikasi sepanjang relevan dan memungkinkan adalah beberapa upaya yang harus segera dilakukan.

Seperti masalah lingkungan lainnya, polusi udara ini masalah akumulatif, yang membesar sedikit demi sedikit dalam waktu yang lama. “Tidak ada solusi instan untuk polusi Jakarta, semua solusi butuh upaya yang konsistensi dalam waktu yang lama,” kata Ketua Umum MTI Tory Damantoro di Jakarta, Jumat (1/9/2023).

Banyak kebijakan dan program sudah diambil pemerintah seperti Program Langit Biru sejak tahun 1996, Perda Pencemaran Udara DKI Jakarta tahun 2005, Program KLHK untuk standar emisi Euro 4 kendaraan baru sejak 2007, Keputusan Dirjen Migas mengenai standar dan mutu BBM yang dipasarkan di dalam negeri, hingga yang paling baru Keputusan Gubernur DKI Jakarta tentang percepatan penggunaan kendaraan listrik dalam layanan Transjakarta dengan target 50% dari armada pada 2027  yang ditujukan untuk mengurangi polusi udara.

“Sayangnya pemerintah tidak konsisten untuk melakukan upaya pencegahan, penanggulangan, dan pengukuran pencemaran udara secara terus menerus dengan hasil yang terukur,” jelas Tory.

Kebijakan mengatasi pencemaran udara yang banyak diberitakan media sekarang ini, seperti work from home (WFH), pengaturan ganjil-genap 24 jam, ataupun tilang untuk kendaraan yang tidak lulus uji emisi baru-baru ini, semuanya bersifat solusi sementara dan tidak akan menyelesaikan akar masalah pencemaran udara, yakni kualitas bahan bakar dan standar emisi yang menimbulkan polutan pencemaran udara yang membuat langit Jakarta tidak lagi cerah, yaitu Particulate Matter (PM), NOx dan SO2.

“Kalau concern-nya langit yang tidak cerah, harus tahu dulu jenis polutan pencemarannya, baru dibuat target upaya yang fokus pada sumber-sumber polutan pencemaran itu,” tambah Tory. 

Selain itu, Tory juga menekankan pentingnya monitoring dan evaluasi dari sumber pencemaran udara tersebut.

Pencemaran udara semakin buruk di kota-kota di Indonesia berasal dari berbagai sumber, seperti transportasi, industri, pembangkit, dan kebakaran hutan.

Sudah saatnya dibuat platform monitoring kualitas udara yang bisa menyampaikan secara akurat dan tepat waktu kondisi kualitas udara di kota-kota sehingga pembuat kebijakan bisa mengambil tindakan untuk kepentingan masyarakat.

Platform tersebut harus transparan sehingga masyarakat juga dapat memantau serta universitas juga dapat melakukan riset dan memberikan rekomendasi kepada pengambil kebijakan.

Pendapat serupa disampaikan Guru Besar Teknik Lingkungan ITB Profesor Puji Lestari, yang menyebutkan sumber utama pencemaran udara yang menyebabkan langit di Jakarta tidak lagi cerah adalah polutan PM2,5, NOx, dan SOx, yang terutama bersumber dari sektor transportasi dan industri.

Particulate Matter (PM) dapat mengurangi visibilitas (menyebabkan kabut). PM bervariasi secara signifikan dalam bentuk, ukuran dan komposisi kimia. Partikel penyebab kabut secara langsung terlepas ke udara seperti debu yang tertiup angin dan jelaga.

“Sangat penting untuk  memahami jenis pencemaran yang menyebabkan langit tidak cerah dan sumber sumber utamanya dalam  menentukan solusi bagi pencemaran udara Jakarta,” jelasnya.

Kajian Departemen Teknik Lingkungan ITB menunjukkan bahawa polutan pencemaran Particulate Matter (PM2.5) bersumber dari sektor transportasi, sektor industri, sektor pembangkitan, dan sektor rumah-tangga, dengan kontribusi masing masing sebesar 46 persen, 43 persen, 9 persen, dan 2 persen.

Sementara untuk polutan pencemaran NOx di Jakarta bersumber dari sektor transportasi, pembangkitan, industri, dan perumahan dengan kontribusi masing-masing berturut turut adalah 57 persen , 24 persen , 15 persen  dan 4 persen.

Berbeda dari PM2.5 dan NOx, polutan pencemaran yang mengeruhkan langit Jakarta, yaitu polutan pencemaran SO2, utamanya bersumber dari sektor industri pabrik sebesar 67%, disusul sektor pembangkitan sebesar 24% dan baru kemudian sektor transportasi sebesar 3%.

Prof Puji menambahkan bahwa kendaraan angkutan berat (HDV) seperti bus, truk dan kendaraan berbahan bakar solar menjadi sumber utama emisi PM2.5 dan NOx, sedangkan polutan CO dan NMVOC lebih banyak di hasilkan dari sepeda motor.

Setelah memahami sumber-sumber pencemar udara di Jabodetabek tersebut, menurut Puji, “Perlu dilakukan upaya penanggulangan dari masing-masing sektor untuk mengurangi polusi udara.”

 Pada sektor transportasi, dilakukan dengan segera memperketat dan memberlakukan baku mutu emisi/standar emisi kendaraan; menerapkan dan menyediakan BBM bersih dengan jumlah yang cukup untuk mendukung implementasi standar emisi kendaraaan setara standar Euro IV di Indonesia; dan percepatan adopsi kendaraan listrik, khususnya untuk HDV (kendaraan angkutan berat) perlu segera dilakukan.

“Jika mungkin bisa dilakukan penerapan standar euro yang lebih tinggi (Euro VI) untuk kendaraan penumpang berbahan bakar solar. Jumlah sepeda motor dan kontribusinya yang cukup tinggi terhadap beberapa polutan perlu diperhatikan juga oleh pemerintah khususnya dalam uji emisi,” kata Puji.

Sementara untuk sektor industri dan pembangkitan, menurut Puji, perlu penerapan alat pengendali pencemaran udara untuk partikulat seperti ESP, Fabric Filter perlu diwajibkan dan diawasi dengan ketat.

Penerapan Flue Gas Desulphurization (FGD) untuk industri juga perlu diterapkan bagi industri yang melewati ambang batas baku mutu untuk polutan SO2. ”Selain itu, pengawasan terpadu antarwilayah di sekitar Jakarta dari 3 provinsi (DKI, Jawa Barat, dan Banten) perlu dilakukan bersama untuk mempermudah pengawasan yang akan berpengaruh terhadap polutan lintas batas (transboundary air pollutants),” ujarnya.

MTI Wilayah DKI Jakarta memberikan catatan tambahan bahwa peningkatan perhatian pada permasalahan polusi ini juga perlu dilihat secara positif dalam artian sebagai pengingat keras bagi seluruh stakeholder agar serius dan berkomitmen jangka panjang dalam menangani polusi.

MTI DKI menggaris bawahi bahwa permasalah polusi dan kualitas udara sesungguhnya adalah permasalahan kronis menahun. “Momen perhatian masyarakat ini harus dijadikan pijakan bagi upaya tindak lanjut ke depan yang lebih serius mengingat efek polusi udara bukan hanya langit yang cerah atau kelam tapi yang lebih penting efeknya pada kesehatan saluran pernafasan yang juga berpotensi memperburuk risiko penyakit degenerasi lain,” kata Ketua MTI Wilayah DKI Jakarta Yusa Permana.

Untuk penjelasan lebih lengkap dan mudah dipahami publik, MTI DKI berencana akan segera mengeluarkan poin-poin penjelasan dan masukan yang mudah dipahami dan dipergunakan banyak pihak untuk masukan menghadapi masalah polusi udara.

FOLLOW US