• Oase

Adakah `Jimat,` Yang Diperbolehkan Dalam Islam?

Pamudji Slamet | Senin, 31/07/2023 15:21 WIB
Adakah `Jimat,` Yang Diperbolehkan Dalam Islam? Ilustrasi

JAKARTA - Kepercayaan dengan jimat-jimat sudah tak asing lagi di kalangan masyarakat Indonesia. Diantaranya seperti benda-benda keramat yang dipercayai dapat melindungi pemiliknya. Atau gantungan-gantungan yang dibacakan mantra untuk melindungi rumah dan keluarga sang pembaca mantra.

Kepercayaan akan hal-hal yang berbau mistis seperti ini memang masih marak dipraktikkan. Nah, sebagaimana yang kita semua pasti tahu bahwa kepercayaan-kepercayaan seperti ini tidak sesuai dengan ajaran Islam. Karena dalam Islam kita diajarkan hanya berlindung kepada Allah ﷻ. Sebagai seorang muslim tentunya kita yakin bahwa segala kebaikan datangnya dari Allah ﷻ dan segala keburukan hanyalah Allah ﷻ yang mampu melindungi kita darinya. Oleh karena itulah kita bertawakkal hanya kepada-Nya.

Rasulullah ﷺ bersabda:
إن الرقى والتمائم والتولة شرك
“Sesungguhnya ruqyah (ruqyah syirkiyyah), jimat-jmat dan At-tiwalah adalah kesyirikkan” (H.R Abu Daud).

Maka dari itu sudah jelas, jika kita ingin dilindungi dari keburukan, cukuplah dengan berdoa dan memohon perlindungan kepada Yang Maha Melindungi.

Akan tetapi, pernahkah anda melihat ayat-ayat suci Al-Qur’an yang digantung di dinding-dinding rumah? Atau Asmaul Husna yang dikalungkan di leher seseorang? Bagaimana hukumnya jika hal-hal ini dilakukan dengan harapan akan terhindarnya sang pengguna dari segala jenis bahaya atau agar mendatangkan kebaikan? Simak penjelasannya berikut ini.

Para ulama sepakat bahwa mengalungkan atau menggantungkan suatu benda dalam bentuk mantra atau yang semisal dengan tujuan melindungi diri dari bahaya hukumnya haram. Akan tetapi jika benda yang digantungkan tersebut tidak berbentuk mantra melainkan berbentuk ayat suci Al-Quran, asmaul husna, atau yang semisal maka para ulama berbeda pendapat. Jangankan ulama, bahkan para sahabat Nabi yang mulia pun berbeda pendapat akan hal ini.

Pendapat pertama adalah yang membolehkan perbuatan tersebut dikarenakan benda-benda yang digantungkan merupakan benda-benda suci, yaitu berupa ayat Al-Qur’an ataupun Asmaul Husna. Diantara sahabat Nabi yang berpendapat demikian adalah ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma sebagaiamana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Bin Hanbal.

Adapun pendapat yang kedua adalah pendapat sahabat yang mulia yaitu Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma, dimana mereka tidak memperbolehkan perbuatan seperti ini. Hal ini berdasarkan sebuah riwayat lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Bin Hanbal. Ada 3 alasan mengapa kedua sahabat yang mulia inii tidak memperbolehkan perbuatan seperti ini.

Alasan pertama adalah karena umumnya hadits atas larangan At-tama’im. At-tama’im secara bahasa adalah segala sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan pada seseorang dengan tujuan melindungi sang pemakai dari keburukan atau mendatangkan kebaikan. Pada sebuah hadits yang sudah disebutkan di atas, Rasulullah ﷺ melarang penggunaan At-Tama’im secara umum. Beliau tidak mengkhususkan tama’im tersebut dalam bentuk apa. Hal ini menandakan bahwasannya penggunaan at-tamaim atau yang biasa dikenal dalam bahasa kita dengan jimat hukumnya haram, walaupun bentuknya adalah tulisan ayat suci Al-Qur’an.

Adapun alasan kedua adalah untuk berjaga-jaga. Karena dikhawatirkan jika seseorang menggunakan ayat suci Al-Quran atau yang semisal untuk melindungi dirinya dari keburukan, ia akan menggantungkan dirinya kepada ayat tersebut. Seakan-akan ia meminta perlindungan kepada ayat-ayat yang digantungkan tersebut dan bukan kepada Dzat yang menurunkan ayat-ayat yang mulia itu.

Alasan yang terakhir adalah untuk memuliakan ayat-ayat Al-Quran. Jka seseorang menggunakannya sebagai jimat, tentu ia akan membawanya kemana-mana. Termasuk di antaranya adalah tempat-tempat yang tidak layak untuk dibawa kedalamnya ayat-ayat suci Al-Quran seperti kamar mandi, toilet, dan yang semisalnya.

Itulah dua pendapat sahabat nabi mengenai perbuatan seperti ini. Lantas, bagaimana sebaiknya sikap kita? Tentunya hal yang wajib kita lakukan adalah memilih mana pendapat yang akan kita ikuti. Ikutilah pendapat yang menurut anda lebih benar sesuai dengan dalil yang ada, baik itu dalil naqli maupun aqli.

Namun tak hanya disitu, wajib pula bagi kita untuk berlapang dada atas perbedaan pendapat tersebut. Jangan jadikan perbedaan ini sebab suatu perselisihan diantara sesama saudara umat Islam. Lihatlah contoh dari para sahabat dan ulama terdahulu kita, walaupun mereka berbeda pendapat dalam banyak hal mereka tetap menjaga kerukunan antar mereka. Allahu a’lam. (Kontributor: Laksana Ibrahim/Alumni Pesantren Al Irsyad - Tengaran

 

Keywords :

FOLLOW US