• Info MPR

Waket MPR Sayangkan Cawe-cawe Presiden Jokowi

Agus Mughni Muttaqin | Kamis, 08/06/2023 21:11 WIB
Waket MPR Sayangkan Cawe-cawe Presiden Jokowi Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW). (Foto: Humas MPR)

JAKARTA - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) menyayangkan sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang belakangan ini malah mengulangi pernyataan akan ‘cawe-cawe’ dalam Pilpres 2024, sekalipun dengan dalih kemaslahatan bangsa dan negara.

HNW menilai lebih maslahat bagi masa depan bangsa dan negara kalau Presiden Jokowi konsisten dengan sikap awalnya, yaitu tidak cawe-cawe dan menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme Konstitusi dan aturan hukum, serta kedewasaan Partai Politik dan Pimpinan Partai Politik.

Selain aturan formal bernegara, etika berbangsa dan bernegara, HNW mengingatkan bahwa sumpah jabatan Presiden juga sangat penting untuk dilaksanakan oleh Presiden, hingga akhir masa jabatannya. Hal ini agar meninggalkan legacy kenegarawanan.

HNW mengaku memahami bahwa memang seharusnya Presiden melakukan kebijakan-kebijakan yang menghadirkan kemaslahatan, kemajuan dan persatuan bangsa, dan mengatasi riak-riak. Namun, menurut HNW, hendaknya itu semua tetap dalam koridor-koridor nilai dan konvensi dan kesepakatan nasional, karena sikap cawe-cawe itu, misalnya, mudah dinilai sebagai tidak sejalan dengan TAP MPR RI yang masih berlaku, yaitu TAP MPR Nomor VI/MPR/2021 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. HNW pun menyebutkan salah satu poinnya adalah berkaitan dengan Etika Politik dan Pemerintahan.

“Etika Politik dan Pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa," kata HNW melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (8/6).

Dalam etika tersebut, lanjut HNW, setidaknya ada yang perlu diperhatikan yakni ‘menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan dan kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar’. “Sikap cawe-cawe terhadap pemilu sangat dikhawatirkan dapat menghadirkan ketidak sesuaian dengan ketentuan-ketentuan etika bernegara dan berbangsa yang dinyatakan oleh TAP MPR tersebut,” ujarnya.

Lebih lanjut, HNW menyebutkan cawe-cawe juga bisa tidak sejalan dengan norma sumpah jabatan Presiden yang secara jelas tertuang dalam Pasal 9 ayat (1) UUD NRI 1945 dan telah diucapkan oleh Presiden Jokowi di depan sidang paripurna MPR. Adapun isi sumpah tersebut berbunyi `Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang - Undang Dasar dan menjalankan segalanya undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa`.

Menurut HNW, sumpah tersebut secara tegas menyebutkan bahwa Presiden Jokowi akan melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya, seadil-adilnya dan selurus-lurusnya. “Presiden dengan sumpah jabatannya itu, tidak lagi sekedar politisi, bahkan bukan sekedar kepala pemerintahan, tapi juga kepala negara, menjadi Negarawan untuk mengayomi semua warga bangsa, dan semua kelompok termasuk kelompok yang mungkin berbeda organisasi atau orientasi politiknya dengan Presiden," ujarnya.

"Sikap cawe-cawe dengan memihak/mengindorse dan memfasilitasi kepada kelompok politik dan bacapres tertentu saja dengan mengabaikan yang lain, mudah dinilai sebagai tidak memenuhi prinsip keadilan apalagi yang seadil-adilnya sebagaimana yang diucapkan dalam sumpah jabatan tersebut,” ujar HNW menambahkan.

Selain soal keadilan, HNW juga mengingatkan bahwa sumpah jabatan Presiden adalah untuk menjalankan undang-undang dengan selurus-lurusnya. Maka bila merujuk ke UU Pemda, kewenangan pemerintah pusat baik absolut maupun konkuren tidak satu pun menyebutkan berkaitan dengan pemilu. Karena soal pemilu telah diserahkan untuk diselenggarakan oleh lembaga independen yaitu KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD NRI 1945.

"Maka konsisten melaksanakan seluruh materi sumpah jabatan justru akan menghadirkan kenegarawanan yang menenteramkan dan mudah mengatasi riak-riak, bila tetap muncul juga. Karena adanya keteladanan melaksanakan sumpah jabatan dan menaati aturan konstitusi dan hukum yang berlaku," imbuhnya.

HNW pun sependapat dengan Wakil Presiden 2014-2019 Jusuf Kalla yang menyatakan bahwa sikap cawe-cawe akan menunjukkan ketidaknetralan, dan itu dapat berimbas dan diikuti oleh aparat pemerintah di bawahnya, baik itu eksekutif maupun yudikatif, bahkan TNI dan Polri dengan dalih kemaslahatan dan menghilangkan riak.

Bila itu yang terjadi, kata HNW, maka cawe-cawe tersebut akan menghadirkan proses Pemilu dan menghasilkan pemilu yang tidak sesuai dengan Konstitusi (UUDNRI 1945 psl 22E ayat 1) yang berlaku di era Reformasi yaitu: bebas, rahasia, jujur dan adil. “Maka semua pihak perlu berkontribusi positif hadirkan Pemilu yang sesuai dengan Konstitusi dan UU, dan tidak perlu cawe-cawe di luar itu, karena sangat tidak sesuai dengan cita-cita Reformasi, dan menjadi legacy yang tidak konstruktif untuk kemajuan bangsa dan kualitas demokrasi di NKRI,” kata dia.

Jadi, menurut HNW seharusnya Presiden Jokowi konsisten dengan sikap yang dinyatakan sebelumnya bahwa tidak akan cawe-cawe soal Pemilu. "Dengan itu membuat legacy, melanjutkan kenegarawanan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada akhir periode kedua menjelang Periode 2014, sekalipun ada riak-riak, tapi tetap netral dan tidak cawe-cawe, sehingga hasilnya demokrasi dan pemilu berjalan dengan baik, estafet kepemimpinan terjadi tanpa riak yang berarti," ujarnya.

"Dengan itulah dahulu Presiden Jokowi terpilih pada periode pertamanya. Dan dengan sikap kenegarawanan yang mengayomi semuanya dengan berlaku adil pada semuanya, Presiden Jokowi justru bisa menyaksikan demokrasi yang lebih dewasa dan substansif, melalui kompetisi yang fair dan profesional dilakukan oleh banyak kader muda bangsa yang potensial, calon-calon pemimpinan bangsa. Yang bila itu terjadi, maka itu juga akan jadi legacy sukses Presiden Jokowi mengelola peralihan kepemimpinan Nasional dengan spirit demokrasi kenegarawanan, dan itu menenteramkan bangsa dan partai-partai, dan karenanya riak-riak pun akan dengan sendirinya terkoreksi,” pungkasnya.

FOLLOW US