• Oase

Potret Para Salaf Memperlakukan Hewan

Rizki Ramadhani | Sabtu, 20/05/2023 19:01 WIB
Potret Para Salaf Memperlakukan Hewan Ilustrasi (foto:kronologi)

Jakarta - Para salafus shalih (generasi awal yang baik) telah mengukir sejarah dengan berbagai kemulian. Diantaranya adab mereka kepada hewan sebagai mahluk ciptaanNya. Adab mulia dengan bingkai kehalusan budi pekerti, kekokohan iman dan kedalaman ilmu.

Kebaikan Islam terhadap binatang juga dapat disaksikan dari para salaf (generasi awal) umat ini dalam mengamalkannya. Kesalihan mereka dapat menjadi panduan generasi selanjutnya.

Diantaranya melalui perkataan Mar’i al-Hanbali, “Pemilik binatang wajib memberi makanan dan minumannya. Jika dia tidak mau memberinya, dipaksa (oleh penguasa) untuk memberinya. Apabila dia tetap menolak atau sudah tidak mampu lagi memberikan hak binatangnya, ia dipaksa untuk menjualnya, menyewakannya, atau menyembelihnya jika binatang tersebut termasuk yang halal dagingnya. Diharamkan baginya mengutuk binatang, membebaninya dengan sesuatu yang memberatkan, memerah susunya sampai memudaratkan anaknya, memukul dan memberi cap pada wajah. Diharamkan pula menyembelihnya apabila tidak untuk dimakan.”

Dr. Abdul Aziz as-Sadhan dalam Arba’un Haditsan fit Tarbiyati wal Manhaj, mengutip perkataan Syaikh Abu Ali bin Rahhal, “Apa yang disebutkan tentang (bolehnya mengurung burung dan semisalnya) hanyalah apabila tidak ada bentuk menyiksa, membuat lapar dan haus meski tanpa sengaja. Atau mengurungnya dengan burung lain yang akan mematuk kepala burung yang sekandang, seperti yang dilakukan oleh ayam-ayam jantan (apabila) berada di kurungan. Sebagiannya mematuk yang lain sampai terkadang yang dipatuk mati. Ini semua, menurut kesepakatan ulama, adalah haram.”

Penjelasan Syaikh Abu Ali bin Rahhal tersebut sudah cukup menjawab hukum tidak dibolehkannya mengadu ayam jantan, atau hewan lainnya.

Dalam ash-Shahihah, dikisahkan Abud Darda radhiyallahu ‘anhu memiliki seekor unta yang diberi nama Dimun. Apabila orang-orang hendak meminjamnya, beliau radhiyallahu ‘anhu berpesan agar untanya tidak dibebani kecuali sekian dan sekian (yakni batas kemampuan unta). Sebab, unta itu tidak mampu membawa yang lebih dari itu.

Ketika kematian datang menjemput Abud Darda radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Wahai Dimun, janganlah kamu mengadukanku besok (di hari kiamat) di sisi Rabbku. Aku tidaklah membebanimu kecuali apa yang kamu mampu.”

Demikian pula terdapat atsar yang mengisahkan sahabat yang tidak membolehkan memeras tenaga binatang secara berlebihan. Atsar tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d.

Pada masa amirul mukminin al Faruq Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah, beliau radhiyallahu ‘anhu mengetahui seseorang mengangkut barang menggunakan unta yang melebihi kemampuan binatang tersebut.

Amirul mukminin Umar radhiyallahu ‘anhu sebagai penguasa memukul orang tersebut sebagai bentuk hukuman. Beliau radhiyallahu ‘anhu menegurnya, “Mengapa kamu mengangkut barang di atas untamu sesuatu yang dia tidak mampu?”

Ada pula beberapa kisah indah beberapa sahabat lainnya yang memelihara hewan dengan penuh kasih sayang. Kisah Abu Umair radhiyallahu ‘anhu dengan burungnya. Juga kisah sahabat yang memelihara kucing dengan penuh perhatian. Kecintaannya kepada kucing menjadikan beliau radhiyallahu ‘anhu lebih dikenal dengan julukannya sebagai Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu (bapaknya kucing).

Sering kali dikisahkan Rasulullah ﷺ bersama para sahabat radhiyallahu ‘anhuma bergantian menunggangi unta saat menuju medan jihad. Menghadapi peperangan pun tidak dijadikan alasan untuk memberi beban berlebihan kepada binatang.

Demikianlah para salaf memperlakukan binatang sebagai mahluk Allah ﷻ dengan kemuliaan adab.

Semoga sekelumit kisah ini dapat menjadi motivasi untuk kita menjadi lebih baik. (Kontributor : Dicky Dewata)

FOLLOW US