19 Desember Hari Trikora, Tuntutan Komando Rakyat Ambil Alih Irian Barat dari Belanda. (FOTO: HO/ISTIMEWA)
JAKARTA - Hari Trikora diperingati setiap 19 Desember.
Hari Trikora dibuat untuk mengenang peristiwa Tri Komando Rakyat atau Trikora pada 19 Desember 1961.
Tuntutan komando rakyat bertujuan untuk mengambil alih wilayah Irian Jaya Barat dari Belanda yang masih berusaha untuk menjajah Indonesia.
Komando itu disampaikan oleh Presiden Soekarno pada rapat raksasa di Yogyakarta, 19 Desember 1961.
Seruan pembebasan Irian Barat ini digaungkan bertepatan dengan peringatan peristiwa Agresi Militer Belanda II pada 1948.
Adapun isi Trikora, yakni:
- Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda;
- Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia;
- Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.
Dikutip dari berbagai sumber, Mangil Martowidjojo melalui buku Kesaksian Tentang Bung Karno (1999:322) menggambarkan situasi ketika Bung Karno berpidato pada 19 Desember 1961 itu.
“Rapat raksasa ini dikunjungi ratusan ribu rakyat dari daerah Yogyakarta dan luar daerah Yogyakarta, sehingga Alun-Alun Utara di Yogyakarta menjadi lautan manusia.”
Pagi hari pukul 09.00 WIB, Sukarno menyampaikan tujuan Trikora untuk menggagalkan pembentukan negara boneka oleh belanda di Papua Barat.
Bung Karno juga menegaskan bahwa bendera Merah Putih harus berkibar di Irian Barat serta digelar mobilisasi umum untuk mengambil kembali Irian Barat dari kuasa Belanda.
** Akhir Operasi Trikora
Dalam melancarkan aksi Trikora salah satu yang dikenal adalah kapal penjelajah KRI Irian 201. Kapal ini didapatkan Indonesia dari Rusia pada 5 Oktober 1961.
Menurut Achmad Taufiqoerahman dalam Kepemimpinan Maritim (2019:258), Kapal KRI Irian 201 dilengkapi berbagai fasilitas tempur, seperti rudal, torpedo, hingga bom jarak jauh.
Buku Laksmana Kent Menjaga Laut Indonesia (2014:38) yang disusun oleh Bernard Kent Sondakh dan kawan-kawan menjelaskan, ketika itu Indonesia setidaknya punya 12 fregat, 12 kapal selam, 22 kapal cepat bertorpedo dan berpeluru kendali, serta 4 kapal penyapu ranjau.
Atas saran Amerika Serikat, Indonesia diminta mengedepankan jalan diplomasi untuk mengambil-alih Papua Barat dari Belanda.
Amerika Serikat bersedia menjadi "penengah" danmenyediakan tempat “netral” untuk membicarakan masalah tersebut. Indonesia dan Belanda, atas desakan AS, bertemu kembali di satu meja pada 15 Agustus 1962.
Delegasi RI dipimpin Adam Malik, sedangkan Belanda mengutus Dr. Jan Herman van Roijen.
Diplomat AS, Ellsworth Bunke, bertindak sebagai penengah.
Dikutip dari Constructing Papuan Nationalism (2005:30) karya Richard Chauvel, inti perundingan yang dikenal dengan nama Perjanjian New York ini adalah bahwa Belanda harus menyerahkan Papua Barat kepada Indonesia selambat-lambatnya tanggal 1 Mei 1963.
Selama proses pengalihan, wilayah Papua Barat akan dipegang sementara oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) yang dibentuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Selain itu, Belanda juga harus menarik pasukannya dari Irian Barat. Sementara pasukan Indonesia diperbolehkan bertahan namun di bawah koordinasi UNTEA.
Hingga akhirnya, tanggal 1 Oktober 1962., Belanda menyerahkan otoritas administrasi Papua kepada UNTEA. Berikutnya, tanggal 31 Desember 1962, bendera Belanda resmi diturunkan dan digantikan dengan bendera Merah Putih sebagai tanda dimulainya kekuasaan de jure Indonesia atas tanah Papua di bawah pengawasan PBB. (*)