• News

Wahai Media, Cerdaskan Kami Lewat Jurnalisme Data

Pamudji Slamet | Kamis, 20/10/2022 16:15 WIB
Wahai Media, Cerdaskan Kami Lewat Jurnalisme Data Ilustrasi

JAKARTA - Beberapa tahun silam, seorang wartawan yunior mendapat wejangan dari sang senior. Bunyinya begini: modal utama wartawan adalah menulis, dan menulis itu perjuangan dari kata ke kata. Masih relevankah nasihat ini untuk masa sekarang?

Andai wejangan itu disampaikan pada masa kini, mungkin bunyinya akan berbeda. Bisa jadi, sang senior akan bilang begini: modal utama wartawan adalah menulis, dan menulis itu perjuangan dari data ke data. Kata kuncinya adalah dari data ke data, bukan dari kata ke kata.

Di era disrupsi, media dan wartawan dituntut bekerja `tidak seperti biasanya`. Mereka harus sibuk dengan data. Sebab, hanya melalui cara inilah, wartawan dan media tetap memikat dan menggoda rasa ingin tahu pembaca. Kenapa? karena pembaca sekarang adalah pembaca data, bukan kata.

Bila begitu faktanya, maka yang dibutuhkan oleh pembaca saat ini adalah jurnalisme data. Inilah jurnalisme yang mengayakan peristiwa dengan data. Inilah jurnalisme yang hidup di era, dimana pembaca sudah tidak bisa lagi disodori berita `sonder` data.

Merujuk pasal 3, UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, dikatakan, bahwa pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Fungsi sebagai media informasi dalam pasal ini bisa ditafsirkan bahwa pers bekerja mencari dan menyampaikan informasi.

Tafsir tersebut beririsan dengan pasal 4, ayat (3), yang menyatakan, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Pada masa kini, pers pasti tahu, informasi seperti apa yang harus dicari, dan kemudian disebarluaskan. Ya, benar, informasi yang harus dicari dan disebarluaskan adalah informasi berbasis data.

Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wahyu Dhyatmika menilai, praktik jurnalisme data relevan dengan era disrupsi digital. Dia berpandangan, era ini meski disikapi secara bijak, karena telah mengubah pola bisnis media, cara wartawan bekerja, sekaligus cara masyarakat mengonsumsi berita.

Hal ini di antaranya terlihat dari hasil survei Reuters Institute, yang menemukan bahwa mayoritas atau 68% responden Indonesia mendapat berita dari media sosial. Adapun media sosial yang paling banyak digunakan sebagai sumber berita di Indonesia adalah WhatsApp.

"Perubahan-perubahan mendasar dalam jurnalisme akibat disrupsi digital ini sangat signifikan dampaknya dan akan mempengaruhi banyak hal dari ekosistem informasi kita," kata Wahyu dalam acara pembukaan Data and Computational Journalism Conference Indonesia (DCJ-CI), seperti dikutip dari katadata, edisi 27 Juli 2022.

Sementara itu, Kepala Litbang The Jakarta Post, Frans Surdiasis menyatakan, data menjadi instrumen penting dalam mendudukkan fakta, di samping keterangan ahli dan sumber lainnya.

"Misalnya, kita ingin menulis, apakah kualitas pendidikan kita makin baik? Jawaban atas pernyataan ini dapat dijelaskan dengan data, sehingga kita tidak sepenuhnya menggantungkan jawaban kepada keterangan para pejabat," ujar jurnalis senior itu, seperti dikutip dari tempo.co , edisi 1 Oktober 2021.

Dalam konteks jurnalisme data, insting berita tetap penting. Namun, dalam kompleksitas pencarian dan penyajian berita, dia membutuhkan sentuhan data.

"Di tengah lingkungan informasi yang makin kompleks, wartawan tidak bisa lagi sekadar mengandalkan nose for news atau insting berita. Kita butuh memahami dunia yang kompleks itu melalui alat bantu yang lain, yakni data," ujar Frans.

Di tengah membanjirnya informasi, menurut Frans, tuntutan terhadap jurnalis semakin tinggi. Oleh karenanya, media dan para jurnalis meski memilki kecakapan mengolah data sebagai instrumen penting dari sebuah informasi. Dalam hal ini, kapasitas yang diperlukan dari seorang wartawan bukan lagi sebatas mencari informasi, melainkan mengelola informasi.

Saat bekerja dalam atmosfer jurnalisme data, wartawan tak lagi berposisi sebagai “orang pertama yang melaporkan suatu kejadian", namun bergeser menjadi orang yang menyampaikan “apa makna dari sebuah kejadian”.

Lalu data apa yang harus dicari dan disajikan dalam berita? Banyak. Data apa saja bisa digali, diolah, dan dituliskan. Jika mengangkat berita yang menyedot perhatian publik, misalnya sebuah kerusuhan, maka akan lebih kompleks data yang dibutuhkan. Data tersebut bisa berupa karakteristk lokasi kejadian, para pihak, cara penanganan, hingga kebijakan lembaga terkait.

Pun demikian, jika mengangkat berita bencana. Data yang ditulis bukan sekadar jumlah korban, namun juga tentang tren bencana serupa sebelumnya, kesamaan waktu kejadian, penyebab bencana, cakupan wilayah terdampak, dan lain-lain.

Mekanisme serupa juga berlaku untuk tema-tema berita lain. Soal komoditas pangan, misalnya, pembaca meski mendapat data tentang tata niaga, skala pasokan, fluktuasi harga, bahkan bisa juga menayangkan data perbandingan ekspor-impor.

Intinya, apapun angle dan temanya, isi beritanya tetap mengedepankan data. Semakin banyak data, semakin kaya isi berita. Dan tentunya, pembaca yang menikmati berita tersebut, akan kian luas wawasannya, dan semakin meningkat kecerdasannya. Wahai wartawan dan media, selamat mencerdaskan pembaca lewat jurnalisme data.

FOLLOW US