• News

NasDem Nilai SE Mendagri Nomor 821 Bentuk Otoriterian

Yahya Sukamdani | Rabu, 21/09/2022 20:51 WIB
NasDem Nilai SE Mendagri Nomor 821 Bentuk Otoriterian Wakil Ketua Baleg DPR RI dari Fraksi NasDem Willy Aditya. Foto: dpr.go.id

JAKARTA – Partai Nasional Demokrat (NasDem) menilai Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian Nomor 821 Tahun 2022 adalah sebuah otoritarianisme. SE itu juga dinilai menyimpang dari peraturan perundang-undangan.

“Partai NasDem berpandangan bahwa surat edaran (SE) adalah peraturan kebijaksanaan (beleidsregel), bukan sebuah keputusan (beschikking) ataupun peraturan perundang-undangan (regeling). Sehingga tidak dapat memuat norma hukum dan tidak dapat menyimpangi peraturan perundang-undangan,” kata Ketua DPP partai Nasdem Willy Aditya melalui keterangan tertulis yang diterima katakini.com di Jakarta, Rabu (21/9/2022).

Baru-baru ini, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian telah menerbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 821/5492/SJ tanggal 14 September 2022 yang memberikan persetujuan terbatas kepada penjabat (Pj), pelaksana tugas (Plt), dan penjabat sementara (Pjs) dalam mengelola kepegawaian daerah.

Secara khusus ada dua hal pokok yang diatur dalam surat edaran tersebut.

Pertama, Mendagri memberikan izin kepada Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah untuk menjatuhkan sanksi atau hukuman disiplin bagi pegawai negeri sipil (PNS) yang tersangkut korupsi dan pelanggaran disiplin berat.

Kedua, Mendagri memberikan izin kepada Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah yang akan melepas dan menerima ASN yang mengusulkan pindah status kepegawaian antar daerah (mutasi antar daerah) dan antar instansi (mutasi antar instansi).

Menurut Aditya, surat edaran sebagai bagian dari kebebasan bertindak pemerintan atas inisiatifnya sendiri (freies ermessen atau discretionary power), seharusnya dipergunakan dalam hal ketidaksempurnaan/keterbatasan/ketidakjelasan aturan atau bahkan tidak adanya aturan. Bukan justru mengangkangi aturan yang sudah ada.

“SE seyogyanya merupakan kebijakan yang bersifat Individual dan memiliki keberlakuan yang terbatas bagi instansi yang terkait dalam jajarannya. Ia bukanlah ketentuan yang bisa diberlakukan secara menyeluruh,” ujarnya.

Willy menegaskan, seharusnya Mendagri mengetahui bahwa Plt, Pj, dan Pjs tidak hanya penjabat di lingkungan Kementerian Dalam Negeri saja tetapi ada juga dari di lingkungan jabatan kelembagaan lain.

“Dengan demikian, SE tersebut tidak sesuai dengan penalaran yang wajar, dan Mendagri telah melampaui wewenangnya bahkan melampaui batas wilayah administratif berlakunya wewenang,” tegas Willy.

Berdasarkan Pasal 132A PP Nomor 49 tahun 2008 ada 4 hal yang tidak boleh dilakukan oleh penjabat (Pj). Salah satunya adalah melakukan mutasi pegawai.

Dengan demikian SE Menteri Dalam Negeri Nomor 821/5492/SJ tersebut bertentangan dengan PP Nomor 49 tahun 2008.

“Sebagai upaya untuk menciptakan kehidupan demokrasi yang lebih baik, kiranya pemerintah harus mematuhi konstitusi dan tata urut pembuatan peraturan. Sehingga, kebijakan yang bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi tidak boleh terjadi,” tuturnya.

DPP Partai NasDem juga berpendapat bahwa terbitnya SE Mendagri No. 821/5492/SJ adalah praktik yang membawa kemunduran bagi proses demokrasi dan prinsip good government dalam kehidupan bernegara.

“Terbitnya SE tersebut juga menjadi manifestasi dari praktik otoriterianisme dari seorang pejabat pemerintahan yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan yang telah berlaku.”

SE Mendagri tersebut juga dinilai menyimpangi aturan yang berifat tegas dan memaksa yang diatur dalam Pasal 71 ayat (2) dan Pasal 162 ayat (3) UU No 10 Tahun 2016 terkait dengan larangan Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.

Bahkan larangan tersebut juga diatur dalam UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, karena Plt, PJ, dan Pjs mendapatkan kewenangan dari mandat, bukan delegasi atau bahkan atribusi.

“Hal tersebut menjadikannya tidak berwenang mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.”

SE ini juga dinilai berbahaya karena telah bertentangan dengan UU ASN dan secara khusus UU Pilkada, apalagi jika Plt, Pj dan Pjs mengundurkan diri pada saat pendaftaran pilkada (syarat UU Pilkada) dan mendaftar sebagai paslon (3 bulan sebelum pencoblosan), yang berarti menabrak ketentuan 6 bulan sebelum pencoblosan.

“ Apalagi dalam SE juga dinyatakan bahwa tidak diperlukan permohonan persetujuan, sehingga tidak tepatlah aturan ini. Padahal, persetujuan Mendagri terkait dengan Pasal 71 ayat (2) dan Pasal 162 ayat (3) UU No 10 Tahun 2016, justru harus didasarkan pada permohonan dari pejabat Gubernur, Bupati dan/atau walikota sebagai pembina kepegawaian di pemerintahan daerah,” jelas Willy.

Partai NasDem meminta kepada Mendagri Tito Karnavian untuk mencabut/merevisi SE tersebut agar tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dan menimbulkan polemik dalam perikehidupan pemerintahan daerah.

“Sebagai pembatu presiden, hendaklah Mendagri tidak mengambil kebijakan yang dapat menjerumuskan Presiden lewat ketentuan yang dapat menimbulkan polemik dalam kehidupan bernegara kita,” demikian Willy Aditya.

FOLLOW US