• News

LaNyalla Nilai MK Membiarkan Kejahatan Oligarki dan Polarisasi Masyarakat

Yahya Sukamdani | Jum'at, 08/07/2022 13:57 WIB
LaNyalla Nilai MK Membiarkan Kejahatan Oligarki dan Polarisasi Masyarakat Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti. Foto: dpdri/katakini.com

JAKARTA – Ketua DPD RI AA LaNyalla Mattalitti menilai Mahkamah Konstitusi (MK) telah melakukan pembiaran terjadinya oligarki dan polarisasi masyarakat di Indonesia. Penilaian LaNyalla itu tersirat dalam di halaman 74 Putusan MK Nomor 52/PUU-XX/2022. Yaitu putusan terkait judicial review atas Pasal 222 UU Pemilu yang diajukan DPD RI dan Partai Bulan Bintang (PBB).

“Di halaman 74, dari putusan sebanyak 77 halaman itu, tertulis salah satu pertimbangan majelis hakim terkait materi gugatan. Dikatakan begini –saya copy paste sesuai aslinya,” kata LaNyalla melalui keterangan tertulis yang diterima katakini.com di Jakarta, Jumat (8/7/2022).

“Mahkamah menilai, argumentasi Pemohon II didasarkan pada anggapan munculnya berbagai ekses negatif (seperti oligarki dan polarisasi masyarakat) akibat berlakunya ketentuan Pasal 222 UU 7/2017. Terhadap hal tersebut, menurut Mahkamah, argumentasi Pemohon II yang demikian adalah tidak beralasan menurut hukum, karena tidak terdapat jaminan bahwa dengan dihapuskannya syarat ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik maka berbagai ekses sebagaimana didalilkan oleh Pemohon II tidak akan terjadi lagi.”

“Nah… artinya oligarki itu ada dan nyata. Tetapi menurut MK, tidak ada jaminan mereka akan hilang dengan dihapusnya Pasal 222 itu. Jadi artinya dibiarkan saja (oleh MK) seperti ini. Oligarki tetap ada dan polarisasi yang merugikan masyarakat tetap ada,” kata LaNyalla.

Menurut LaNyalla, upaya DPD RI dan puluhan elemen masyarakat lain yang telah mengajukan judicial review atas Pasal 222 dengan semangat untuk meminimalisir kerugian rakyat yang timbul akibat Pasal tersebut. Lalu MK menolak hanya kerena berpendapat tidak ada jaminan dengan dihapusnya Pasal 222 itu, lantas kerugian yang dialami rakyat ---akibat adanya Oligarki dan Polarisasi—akan hilang.

“Jadi dengan kata lain, apakah bisa dibuat dalam kalimat; biar saja kerugian itu terus dirasakan rakyat,” jelasnya.

Amar putusan inilah yang disebut oleh banyak tokoh, termasuk Yusril Ihza Mahendra dalam tulisan terbarunya, bahwa MK bukan lagi menjadi the guardian of the constitution dan penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi the guardian of oligarchy.

“Saya hanya mengingatkan kita semua. Terbentuknya negara ini memiliki tujuan. Dan tujuan itu dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar negara kita. Dimana salah satunya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Mencerdaskan kehidupan bangsa dan seterusnya. Hingga pada ujungnya adalah terciptanya tujuan hakiki dari lahirnya negara ini, yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, lanjut LaNyalla, dibuatlah Konstitusi dan Undang-Undang sebagai petunjuk dan pengikat bagi aparatur negara. Sekaligus sebagai pengikat semua elemen bangsa. Undang-undang dibuat oleh pembentuk: DPR dan Pemerintah.

“Nah, persoalannya, kita sebut apakah apabila ada Undang-Undang yang dibentuk, dan nyata-nyata menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan masyarakat banyak, serta melenceng dari tujuan lahirnya negara ini?” tutur LaNyalla.

“Inilah kejahatan kepada rakyat yang sesungguhnya. Inilah kejahatan kepada pemilik  kedaulatan yang sah di negara ini. Inilah kejahatan yang dibiarkan tetap ada, karena dianggap upaya untuk me-review UU tersebut bukan jaminan kejahatan yang merugikan rakyat itu hilang. Waraskah kita sebagai bangsa?” tutup LaNyalla.

FOLLOW US