• News

LaNyalla: Dalam Demokrasi Pancasila, Presiden Adalah Petugas Rakyat

Yahya Sukamdani | Rabu, 02/02/2022 19:37 WIB
LaNyalla: Dalam Demokrasi Pancasila, Presiden Adalah Petugas Rakyat Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti (tengah). Foto: dpdri/katakini.com

SUBANG - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan dalam demokrasi Pancasila, Presiden adalah petugas rakyat, bukan partai. Makanya seorang presiden wajib mendengar suara rakyat. Bukan mendengar suara ketua partai.

Pernyataan itu disampaikan LaNyalla usai menerima Maklumat Sunda oleh Gerakan Pilihan Sunda dan Lembaga Adat Kratwan Galuh Pakuan di Subang, Rabu (2/2/2022).

"Namun yang terjadi saat ini bukan seperti itu. Karena demokrasi Pancasila yang merupakan sebuah sistem tata negara yang paling sesuai dengan DNA asli bangsa Indonesia telah hilang. Telah kita porak-porandakan melalui Amandemen 20 tahun yang lalu," katanya.

Padahal menurut LaNyalla, Sistem Demokrasi Pancasila telah dirancang melalui mekanisme yang paling sesuai dengan watak dasar negara bangsa ini. Yaitu adanya Lembaga Kedaulatan Rakyat yang mewakili semua kebhinekaan yang ada.

"Sebelum Amandemen 1999 hingga 2002 MPR adalah Lembaga Tertinggi Negara. Di sana semua rakyat atau semua elemen bangsa ada. Di dalam MPR terdapat representasi politik, melalui anggota DPR RI, representasi TNI-Polri melalui Fraksi ABRI, representasi daerah melalui anggota Utusan Daerah dan representasi golongan melalui anggota Utusan Golongan," katanya.

Dari situlah, lanjutnya, mereka menyusun arah perjalanan bangsa melalui GBHN, dan kemudian memilih siapa yang pantas sebagai Presiden yang bertugas sebagai mandataris MPR. Arti dari mandataris MPR adalah seorang presiden itu petugas rakyat. Bukan petugas partai.

"Tetapi kita sudah secara sengaja mencabut dari DNA asli kita, untuk menjadi bangsa lain. Demi kebanggaan yang semu, yang menyatakan bahwa demokrasi barat adalah yang terbaik," jelasnya.

Setelah Amandemen 20 tahun yang lalu, Konstitusi menempatkan Partai Politik menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusung calon pemimpin bangsa ini.

Sebaliknya DPD RI sebagai wakil dari daerah, wakil dari golongan-golongan dan wakil dari kelompok non-partisan, tidak memiliki ruang yang kuat untuk menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa ini.

"Karena itu, DPD RI terus menggugah kesadaran publik. Bahwa sistem tata negara Indonesia saat ini, sudah jauh dari cita-cita luhur para pendiri bangsa. Untuk itu, DPD RI terus menggelorakan, bahwa rencana Amandemen Konstitusi perubahan ke-5 harus menjadi momentum untuk melakukan koreksi atas sistem tersebut," lanjutnya.

LaNyalla juga mendorong elemen-elemen rakyat melakukan gugatan atas aturan presidential threshold yang nyata-nyata
merugikan.

"Untuk itu, saya mengajak semua pihak untuk jangan meninggalkan sejarah. Kita juga harus berpikir dalam kerangka pikir seorang negarawan. Bukan politisi. Karena seorang politisi lebih suka berpikir tentang next election. Sedangkan negarawan lebih suka berpikir tentang next generation," tegasnya.

FOLLOW US