• News

YLBHI: Hentikan Perampasan Tanah Adat Basipae

Yahya Sukamdani | Jum'at, 21/08/2020 19:51 WIB
YLBHI: Hentikan Perampasan Tanah Adat Basipae Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Foto: wowkeren

Katakini.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) meminta agar hentikan perampasan tanah dan penggusuran masyarakat adat Basipae di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.

Masyarakat adat Basipae adalah pemilik baju adat yang digunakan Presiden Jokowi dalam upacara peringatan HUT RI ke-75. Tepat 17 Agustus 2020 lalu.

Dalam rilis yang diterima katakini.com, masyarakat adat Basipae secara turun temurun menguasai dan hidup di atas tanah adatnya. Menurut  informasi yang diterima oleh YLBHI, Pemerintah Provinsi NTT melalui Polisi Pamong Praja menggusur tanah adat mereka dengan mendasarkan pada sertifikat Hak Pakai Hak Pakai Nomor 00001 tanggal 19 Maret 2013 seluas 37.800.000 m2 atas nama pemegang Hak Pakai yaitu Dinas Peternakan Provinsi NTT.

``Jika keberadaan sertifikat Hak Pakai tersebut benar adanya, maka YLBHI mengingatkan pemerintah bahwa sertifikat bukanlah satu-satunya alat bukti kepemilikan atau penguasaan atas tanah. Bukti-bukti kepemilikan masyarakat adat tidak berarti bisa dikalahkan serta merta oleh sertifikat. Sertifikat tersebut masih harus diuji kebenarannya baik secara prosedural maupun substansial,`` demikian bunyi rilis YLBHI, Jumat (21/8/2020).

Pada Bab II Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu Pasal 19 ayat (2) huruf c dinyatakan bahwa pendaftaran tanah meliputi surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai pembuktian yang kuat. Tetapi, hal ini hanya apabila data yuridis dan data fisik yang ada pada sertifikat itu sama dengan data-data yang ada di buku tanah atau surat ukur selama tidak dibuktikan sebaliknya sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 32 ayat (1) PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan penjelasannya.

Dalam hukum adat, tegas YLBHI, penguasaan tanah umumnya melalui pernyataan dan penguasaan tanah secara nyata. Orang yang menguasai fisik tanah dengan itikad, turun temurun tanpa digugat oleh orang lain diakui oleh pemilik tanah yang berbatasan maka dialah pemilik tanah yang sesungguhnya. Hukum adat berjalan terus menerus seperti itu tanpa harus ada bukti-bukti tertulis. Hal yang demikian dijamin oleh hukum dan hak asasi manusia baik di tingkat nasional maupun internasional.

``Indonesia adalah salah satu negara yang menandatangani Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat (UNDRIP) yang diadopsi dalam Sidang Umum PBB tahun 2007. Karena itu Indonesia terikat secara moral untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat di muat di dalam UNDRIP baik hak masyarakat atas tanah dan sumber daya alam, hukum-hukum adat maupun hak-hak lainnya termasuk hak atas persetujuan bebas tanpa paksaan, didahulukan, dan diinformasikan (Free Prior and Informed Consent/FPIC),`` ujarnya.

YLBHI menyoroti tiga hal dari peristiwa perampasan tanah adat masyarakat Basipae. Pertama, munculnya sertifikat Hak Pakai di atas tanah adat mereka. Kedua, pengrusakan rumah-rumah dan tanah masyarakat adat, dan ketiga adalah kriminalisasi terhadap masyarakat adat Basipae.

Kejanggalan-kejanggalan tersebut, ucap YLBHI, telah cukup menjadi alasan untuk menduga adanya cacat prosedur dalam penerbitan sertifikat Hak Pakai. Apalagi pemerintah telah mengetahui bahwa di atas tanah tersebut telah berdiam masyarakat adat Basipae dan mengakui kepemilikan tanah masyarakat adat Basipae. Hal ini terlihat dari dilaksanakannya proyek percontohan intensifikasi Peternakan Besi Pae pada tahun 1982.

``Kami mengecam penggusuran masyarakat adat Basipae dari tanah adatnya oleh Pemerintah Provinsi NTT. Menteri ATR/BPN harus membentuk tim independen guna melakukan uji proses sertifikat Hak Pakai terhadap tanah adat masyarakat Basipae dengan melibatkan publik terutama masyarakat adat Basipae,`` pungkasnya.

FOLLOW US