JAKARTA - Malam pergantian tahun selalu dipenuhi suara gemuruh petasan dan kilauan kembang api di langit. Di banyak negara, tradisi ini begitu erat melekat dengan perayaan Tahun Baru.

Suara dan cahaya terang yang memecah malam bukan sekadar tontonan melainkan bagian dari cara budaya manusia menyambut babak waktu yang baru.

Kembang api dan petasan malam Tahun Baru tidak muncul begitu saja belakangan ini. Ia memiliki jejak panjang yang berasal dari kebiasaan kuno, saat manusia percaya bahwa bunyi keras dan cahaya mampu mengusir hal-hal buruk sekaligus membawa keberuntungan untuk tahun yang akan datang.

Tradisi ini kemudian terus menyebar dan beradaptasi di berbagai budaya hingga menjadi ikon perayaan global.

Munculnya kembang api ternyata berakar dari sejarah panjang di Tiongkok kuno. Sekitar dua ribu tahun lalu, orang-orang menemukan bahwa batang bambu yang dibakar akan meledak karena udara terperangkap di dalamnya.

Ledakan kecil ini kemudian diyakini mampu mengusir roh jahat dan energi buruk. Lama-kelamaan, praktik ini berkembang menjadi penggunaan bubuk mesiu dalam tabung yang menghasilkan suara lebih keras dan kilauan terang di langit.

Seiring waktu, teknologi kembang api semakin maju, terutama setelah bubuk mesiu dipadukan dengan bahan lain seperti belerang dan arang.

Penggunaan kembang api yang awalnya berkaitan dengan upacara keagamaan dan pengusiran roh di pagi hari pun akhirnya meluas ke perayaan besar, termasuk malam Tahun Baru umum saat ini.

Tradisi ini kemudian menyebar dari Tiongkok ke berbagai belahan dunia, terutama ketika kembang api menjadi simbol kemeriahan dan kegembiraan.

Dalam masyarakat Tionghoa sendiri, kembang api masih dipakai pada perayaan Tahun Baru Imlek untuk mengusir “Nian”, makhluk mitos yang diyakini mengganggu manusia makanan dan sarangnya di malam pergantian tahun.

Masyarakat meyakini suara letupan kembang api akan menjauhkan sang makhluk dan membawa keberuntungan.