• Info DPR

Jelang KUHP dan KUHAP Baru, Adang Daradjatun Kritisi Kesiapan Penegak Hukum

Aliyudin Sofyan | Senin, 29/12/2025 10:19 WIB
Jelang KUHP dan KUHAP Baru, Adang Daradjatun Kritisi Kesiapan Penegak Hukum Anggota Komisi III DPR RI Adang Daradjatun. Foto: dpr

JAKARTA - Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru akan mulai diimplementasikan pada 2 Januari 2026.

Setelah puluhan tahun menggunakan hukum pidana warisan kolonial, Indonesia akhirnya memiliki KUHP dan KUHAP yang disusun berdasarkan nilai Pancasila, konstitusi, dan kebutuhan masyarakat Indonesia yang terus berkembang serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Namun demikian, Anggota Komisi III DPR RI Adang Daradjatun menilai, perubahan besar ini tidak akan membawa perubahan berarti bila aparat penegak hukum tidak bisa mengimplementasikan KUHP dan KUHAP secara konsisten, adil, dan bertanggung jawab.

“Tantangan terbesarnya justru terletak pada kesiapan aparat penegak hukum seperti Polri, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan dalam mengimplementasikan KUHP dan KUHAP secara konsisten, adil, dan bertanggung jawab,” kata Adang dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (29/12/2025).

Mantan Wakapolri ini menjelaskan berdasarkan KUHP dan KUHAP yang baru, pendekatan hukum pidana tidak lagi semata-mata represif, melainkan lebih menekankan pada prinsip ultimum remedium, keadilan restoratif, pidana alternatif non-pemenjaraan, serta pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).

“Perubahan ini menuntut aparat penegak hukum untuk meninggalkan pola lama yang berorientasi pada penghukuman semata.” Katanya.

Menurutnya, tanpa kesiapan yang memadai, KUHP dan KUHAP baru justru berpotensi menimbulkan kebingungan di lapangan, disparitas penegakan hukum, bahkan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat.

Untuk itu ia menyarankan agar aparat penegak hukum harus mempersiapkan antara lain: Pertama, kesiapan konseptual dan pemahaman substansi hukum. Aparat penegak hukum tidak cukup hanya mengetahui bunyi pasal, tetapi harus memahami filosofi, tujuan, dan semangat pembaruan hukum pidana nasional.

“Tanpa pemahaman ini, penerapan norma baru dikhawatirkan akan menyimpang dari tujuan awal pembentukan KUHP dan KUHAP, yakni menghadirkan keadilan, manfaat dan kepastian hukum,” ujar politikus PKS ini.

Kedua, lanjutnya, kesiapan sumber daya manusia dan kelembagaan. Pendidikan dan pelatihan yang berjenjang, terstruktur, dan seragam harus menjadi prioritas.

Kurikulum pendidikan di institusi kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman perlu disesuaikan dengan KUHP dan KUHAP baru.

Selain itu, harmonisasi peraturan internal dan pedoman teknis antar lembaga penegak hukum mutlak diperlukan agar tidak terjadi perbedaan penafsiran yang merugikan pencari keadilan.

Ketiga, kesiapan sistem dan budaya hukum. Pembaruan hukum pidana menuntut perubahan cara pandang APH, dari sekadar “penegak pasal” menjadi “penjaga keadilan”.

KUHP dan KUHAP baru menempatkan hukum pidana sebagai sarana terakhir, bukan alat utama untuk menyelesaikan setiap persoalan sosial.

“Pendekatan yang lebih humanis dan berorientasi pada pemulihan harus menjadi bagian dari budaya kerja aparat penegak hukum,” tegasnya.

Adang menegaskan, jika aparat hukum siap secara konsep, kelembagaan, dan budaya hukum, serta integritas yang kuat, maka KUHP dan KUHAP baru akan menjadi tonggak kemajuan hukum nasional.

“Sebaliknya, tanpa menjaga integritas dan kesiapan yang matang, pembaruan hukum ini berisiko menjadi beban baru dalam penegakan hukum,” pungkasnya.