Ilustrasi - pembacaan tahlil di Indonesia (Foto: Ist)
JAKARTA - Di banyak daerah di Indonesia, tahlilan dikenal sebagai rangkaian doa, bacaan tahlil, dan ayat-ayat Al-Qur`an yang dihadiahkan untuk orang yang telah wafat.
Di balik praktiknya, ada satu hal yang disepakati: mendoakan orang yang meninggal merupakan amalan yang dianjurkan dalam Islam. Doa menjadi bentuk kepedulian sekaligus harapan agar Allah memberikan ampunan serta keteguhan bagi ahli kubur.
Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan pentingnya mendoakan orang yang baru dimakamkan. Dalam sebuah hadis disebutkan:
اِسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ
“Mintakanlah ampun untuk saudara kalian dan mohonkanlah keteguhan baginya, karena saat ini ia sedang ditanya.” (HR. Abu Dawud)
Pesan ini menegaskan bahwa doa bagi mayit memiliki dasar kuat. Namun, terkait penentuan hari-hari tertentu seperti tiga, tujuh, hingga empat puluh hari setelah kematian, sumber-sumber hadis tidak menunjukkan contoh praktik khusus dari Nabi SAW maupun para sahabat.
Dalam kacamata sejarah, penentuan hari-hari tersebut memiliki akar budaya yang panjang. Pada masa pra-Islam, masyarakat Nusantara yang dipengaruhi tradisi Hindu-Buddha dan kepercayaan lokal menggunakan angka 3, 7, dan 40 sebagai penanda fase duka dan peralihan.
Ketika Islam datang, unsur tradisi itu berjumpa dengan ajaran doa, lalu terjadi proses akulturasi. Dari sinilah lahir kebiasaan tahlilan sebagaimana dikenal hingga kini.
Karena itu, tahlilan sering dipahami bukan sebagai ritual ibadah yang ditetapkan syariat secara baku, melainkan sebagai tradisi sosial yang diisi dengan amalan-amalan doa.
Al-Qur`an menganjurkan umat Islam mendoakan sesama mukmin, baik yang masih hidup maupun yang telah mendahului tanpa menyebutkan waktu tertentu. Doa tersebut tergambar dalam firman Allah:
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ
“Wahai Tuhan kami, ampunilah kami dan juga saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu.” (QS. Al-Hasyr: 10)
Ayat ini bersifat umum: doa dapat dipanjatkan kapan saja, tanpa pembatasan hari atau hitungan tertentu.
Tidak heran bila para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai tahlilan. Ada yang memandangnya boleh, selama dianggap sebagai tradisi dan sarana berkumpul untuk berdoa — bukan kewajiban agama, tidak diyakini memiliki keutamaan khusus yang ditentukan syariat, dan tidak menimbulkan beban bagi keluarga.
Sebaliknya, sebagian ulama memilih tidak melakukannya karena tidak mendapati contoh yang eksplisit dari Nabi SAW. Mereka menekankan agar doa dilakukan secara pribadi atau bersama keluarga tanpa mengikatkan diri pada penetapan hari tertentu.