Ilustrasi Natal (FOTO: GETTY IMAGES)
JAKARTA - Bagi banyak orang, kata `Natal` terdengar begitu akrab setiap memasuki bulan Desember. Ia muncul di gereja, sekolah, media, bahkan pusat perbelanjaan.
Namun penyebutan Nata sering kali muncul pertanyaan, mengapa di Indonesia istilah Christmas tidak diterjemahkan menjadi `Hari Kelahiran Yesus`, melainkan disebut `Natal`?
Penasaran? Simak ulasannya berikut ini.
Melansir dari berbagai sumber, secara bahasa, kata `Natal` berasal dari bahasa Latin natalis, yang berarti `kelahiran`. Istilah ini awalnya digunakan dalam tradisi gereja untuk merujuk pada hari kelahiran Yesus Kristus.
Ketika bangsa-bangsa Eropa, terutama Portugis dan Belanda membawa agama Kristen ke Nusantara, istilah tersebut ikut masuk dan mengalami penyesuaian.
Portugis menggunakan kata Natal, sementara Belanda memakai kata Kerstmis. Dalam perkembangan bahasa di kepulauan Indonesia, istilah Portugis lebih mudah diterima karena lebih dekat bunyinya dengan bahasa lokal.
Pengaruh sejarah inilah yang kemudian mengakar. Pada masa kolonial, sekolah misi, lembaga gereja, dan penerjemahan kitab suci menggunakan istilah `Natal` secara konsisten.
Seiring waktu, kata tersebut masuk ke dalam bahasa Indonesia formal, dipakai dalam dunia pendidikan, media, hingga dokumen negara. Badan Bahasa pun mengakui `Natal` sebagai istilah baku untuk merujuk pada perayaan kelahiran Yesus bagi umat Kristen.
Menariknya, sebutan `Natal` di Indonesia tidak hanya berhenti sebagai istilah keagamaan. Dalam praktik sosial, kata ini tumbuh menjadi simbol kebersamaan, tradisi, dan perayaan.
Banyak orang non-Kristen pun terbiasa mengucapkan `Selamat Natal` sebagai bentuk penghormatan dan rasa toleransi. Di sinilah tampak bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga jembatan budaya.
Sementara itu, istilah Christmas yang berasal dari bahasa Inggris dan berarti `Misa Kristus` lebih banyak digunakan dalam konteks global, film, lagu, atau produk internasional.
Namun di ruang publik Indonesia, `Natal` tetap menjadi pilihan utama karena terasa lebih membumi, lebih dekat dengan telinga masyarakat, dan sudah lama menjadi bagian dari kosakata sehari-hari.