Ilustrasi - menikah (Foto: Unsplash/Jeremy Wong Weddings)
JAKARTA - Nikah siri merujuk pada pernikahan yang dilangsungkan sesuai tuntunan agama dengan memenuhi rukun dan syarat nikah, namun tidak didaftarkan secara resmi kepada negara. Dalam kajian fikih, keabsahan sebuah pernikahan ditentukan oleh terpenuhinya rukun nikah, yakni adanya calon suami dan istri, wali, ijab kabul, serta dua orang saksi. Rasulullah SAW menegaskan ketentuan ini dalam sabdanya:
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
Artinya: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Berdasarkan hadis tersebut, para ulama sepakat bahwa pernikahan yang memenuhi rukun dan syarat di atas dinilai sah secara fikih, meskipun tidak dicatatkan secara administratif. Dari sudut pandang ini, nikah siri bisa dianggap sah apabila seluruh unsur tersebut terpenuhi tanpa cacat.
Namun, Islam tidak hanya memandang keabsahan pernikahan dari sisi formal rukun dan syarat semata. Syariat juga sangat menekankan pentingnya keterbukaan dan pengumuman pernikahan kepada masyarakat. Rasulullah SAW menganjurkan agar pernikahan tidak disembunyikan, sebagaimana sabdanya:
أَعْلِنُوا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ
Artinya: “Umumkanlah pernikahan dan adakanlah walimah, meskipun hanya dengan seekor kambing.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini menunjukkan bahwa pernikahan ideal dalam Islam adalah pernikahan yang diumumkan secara terbuka. Tujuannya agar tidak menimbulkan fitnah, kecurigaan, serta menjaga kehormatan pasangan. Praktik nikah siri yang dilakukan secara tersembunyi, meskipun sah secara fikih, dinilai bertentangan dengan spirit syariat yang menghendaki kejelasan dan perlindungan sosial.
Al-Qur’an juga menegaskan pentingnya tanggung jawab dan perlakuan yang adil dalam kehidupan rumah tangga. Allah SWT berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: “Dan pergaulilah mereka (istri-istri) dengan cara yang patut.” (QS. An-Nisa: 19)
Dalam praktiknya, nikah siri kerap menimbulkan persoalan serius, terutama bagi perempuan dan anak. Tidak adanya pencatatan resmi sering berujung pada hilangnya hak nafkah, lemahnya perlindungan hukum, serta ketidakjelasan status anak secara administratif. Kondisi ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan yang menjadi tujuan utama syariat Islam.
Karena itu, banyak ulama kontemporer menekankan bahwa pencatatan pernikahan merupakan keharusan di era modern. Meski nikah siri dapat sah secara fikih, mencatatkan pernikahan kepada negara dipandang sebagai kewajiban moral dan sosial demi mencegah dampak negatif yang lebih besar. Kaidah fikih menyatakan:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Artinya: “Menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan.”
Dengan adanya pencatatan pernikahan, hak-hak suami, istri, dan anak dapat terlindungi secara hukum, sekaligus memastikan tujuan pernikahan dalam Islam, yakni membangun ketenteraman, kasih sayang, dan tanggung jawab, dapat terwujud secara lebih sempurna dalam kehidupan nyata.