• Oase

Mengapa Suhrawardi al-Maqtul Dihukum Mati? Kisah Tragis Pendiri Filsafat Iluminasi

Agus Mughni Muttaqin | Rabu, 17/12/2025 20:41 WIB
Mengapa Suhrawardi al-Maqtul Dihukum Mati? Kisah Tragis Pendiri Filsafat Iluminasi Ilustrasi - Mengapa Suhrawardi al-Maqtul Dihukum Mati? Kisah Tragis Pendiri Filsafat Iluminasi (Foto: Ist)

JAKARTA - Syihabuddin Yahya Suhrawardi bukan sekadar filsuf dan arif terkemuka. Ia adalah simbol keberanian intelektual yang menantang arus utama pemikiran Islam abad ke-12. Namun, kecemerlangan gagasannya justru mengantarkannya pada akhir yang tragis, hukuman mati di Aleppo.

Lantas, mengapa seorang pemikir besar harus dibungkam? Inilah kisah kelam di balik wafatnya pendiri Filsafat Iluminasi atau Madzhab Iluminasi Filsafat Islam (Hikmah al-Isyraq), Suhrawardi al-Maqtul atau Sang Filsuf yang Dibunuh.

Siapa Suhrawardi? Dikutip dari berbagai sumber, selain al-Maqtul, Suhrawardi juga dijuluki sebagai Syaikh al-Isyraq. Ia adalah filsuf Persia yang menggabungkan rasionalitas filsafat Yunani, khususnya Plato, dengan mistisisme Islam dan tradisi kebijaksanaan Persia kuno.

Suhrawardi lahir di Persia pada 1154 M dan sejak muda dikenal cerdas, menguasai logika, metafisika, hingga mistisisme. Karya-karyanya, seperti Kitab Hikmat al-Isyraq, menekankan konsep "cahaya" sebagai simbol kebenaran dan sumber segala wujud. Ajaran ini memengaruhi banyak pemikir Muslim setelahnya, tetapi juga menuai kontroversi di zamannya.

Suhrawardi dianggap menolak dominasi filsafat Peripatetik (Aristotelian) yang saat itu dipopulerkan oleh Ibn Sina, dan menawarkan pendekatan baru, yakni pengetahuan sejati lahir dari pencerahan batin (isyraq), bukan semata logika.

Gagasannya revolusioner, gaya bicaranya tajam, dan karismanya memikat para murid, termasuk kalangan elit di Aleppo. 

Gagasan revolusioner Suhrawardi adalah metafisika cahaya. Realitas, menurutnya, tersusun bertingkat dari Cahaya Tertinggi (Nur al-Anwar) hingga dunia materi. Pengetahuan sejati dicapai melalui penyucian jiwa dan pengalaman batin langsung.

Masalahnya, ajaran ini dianggap terlalu esoteris dan sulit diverifikasi secara teologis. Ajarannya juga dianggap menghidupkan kembali unsur kebijaksanaan pra-Islam Persia, yang dicurigai. Serta dianggap mengaburkan batas antara filsafat, tasawuf, dan teologi resmi.

Bagi ulama ortodoks, ini bukan sekadar perbedaan pendapat, melainkan potensi penyimpangan akidah.

ksekusi Suhrawardi tak lepas dari situasi politik dan keagamaan yang tegang. Ia mendapat dukungan dari Malik Zahir, putra Sultan Salahuddin al-Ayyubi, yang saat itu memerintah Aleppo. Namun, para ulama konservatif menuduhnya menyebarkan ajaran filsafat yang dianggap menyimpang, termasuk pandangan yang dinilai terlalu dekat dengan ide-ide filsafat Yunani dan keyakinan Persia pra-Islam.

Tekanan terhadap Malik Zahir meningkat ketika Suhrawardi dituduh mengajarkan doktrin yang bisa merusak akidah umat. Surat-surat protes dari ulama besar dikirim kepada Sultan Salahuddin di Mesir. Akhirnya, Sultan memerintahkan putranya untuk menyingkirkan Suhrawardi demi menjaga stabilitas politik dan agama.

Riwayat berbeda menyebutkan bahwa selain tuduhan teologis, kecerdasan Suhrawardi dan kedekatannya dengan penguasa muda membuatnya dicurigai sebagai ancaman politik. Kombinasi intrik politik, kecemburuan intelektual, dan tuduhan bid’ah menjadi penyebab utama eksekusinya.

Suhrawardi meninggal di usia 36 atau 38 tahun, tetapi warisannya tetap hidup. Filsafat iluminasi yang ia rintis masih dipelajari di berbagai pusat studi Islam hingga kini. Tragedinya menjadi pengingat bahwa pemikiran besar kerap menghadapi tantangan keras di tengah benturan kekuasaan dan dogma. (*)