• Oase

Salman al-Farisi, Musafir Kebenaran yang Menemukan Cahaya di Madinah

M. Habib Saifullah | Rabu, 17/12/2025 12:05 WIB
Salman al-Farisi, Musafir Kebenaran yang Menemukan Cahaya di Madinah Ilustrasi kisah Salman Al-Farisi (Foto: Alif)

JAKARTA - Namanya Salman al-Farisi, seorang lelaki dari Persia yang hidupnya digerakkan oleh kegelisahan yang tak pernah padam. Ia lahir di rumah besar dengan halaman luas, dijaga ayahnya yang terpandang.

Suatu malam, saat api sembahan kaumnya menyala, Salman berbisik pada dirinya sendiri, "Jika api ini padam oleh angin, bagaimana ia bisa menjaga hidup manusia" Pertanyaan itu mengusik tidur dan menolak diam.

Suatu hari ia mendengar lantunan doa dari sebuah bangunan sederhana. Salman berhenti. Di sana, seorang pendeta Nasrani menyambutnya.

"Wahai anak muda, apa yang kau cari" tanya sang pendeta lembut.

"Aku mencari Tuhan yang satu, yang tidak padam dan tidak diciptakan," jawab Salman dengan suara bergetar.

Pendeta itu tersenyum. "Jika itu yang kau cari, bersiaplah untuk perjalanan panjang."

Kata-kata itu seperti pintu yang terbuka. Salman pulang dengan dada sesak dan tekad bulat. Ia memilih pergi.

Perjalanan itu menelan tahun demi tahun. Salman berpindah guru, berpindah negeri. Di sebuah persinggahan, ia dikhianati dan dijual sebagai budak. Rantai besi mengikat pergelangan tangannya. Seorang pedagang menepuk bahunya kasar.

"Terimalah nasibmu," katanya.

Salman menunduk, namun hatinya menolak tunduk. "Tubuhku terikat, tetapi imanku bebas," gumamnya.

Menjelang wafat, seorang guru terakhir menggenggam tangan Salman dengan sisa tenaga.

"Akan datang seorang nabi di tanah Arab," bisiknya. "Ia tidak menerima sedekah, tetapi menerima hadiah. Di punggungnya ada tanda kenabian."

"Di mana aku menemukannya" tanya Salman tergesa.

"Di negeri yang diapit dua lava hitam. Bersabarlah." Pesan itu ia simpan rapat-rapat, seperti kompas terakhir.

Takdir membawanya ke Madinah. Di pasar, Salman mendengar orang-orang menyebut nama Muhammad. Ia mendekat dengan hati berdebar. Ketika Nabi datang, Salman menyodorkan makanan. "Ini sedekah," ucapnya pelan.

Nabi tersenyum, namun tidak menyentuhnya. Keesokan hari Salman datang lagi. "Ini hadiah." Nabi menerimanya.

Salman menahan napas. Ia melangkah lebih dekat, matanya mencari-cari tanda di punggung Nabi. Nabi memahami, lalu menyingkapkan kainnya. Salman tersungkur, air mata membasahi tanah.

"Aku bersaksi engkau utusan Allah," katanya terbata.

Meski masih budak, hatinya telah merdeka. Rasulullah SAW membantu memerdekakannya. Suatu hari, ketika Madinah terancam dalam Perang Khandaq, para sahabat bermusyawarah. Salman angkat bicara.

"Di negeriku, jika musuh besar datang, kami menggali parit," katanya.
Sebagian terdiam, heran.
Rasulullah menoleh dan berkata, "Itu pendapat yang baik."
Parit digali. Kota terselamatkan.

Di hari lain, seorang sahabat memuji asal-usulnya. Rasulullah SAW tersenyum dan bersabda bahwa Salman adalah bagian dari keluarganya. Salman menunduk, malu dan bersyukur.

"Wahai Salman," kata Nabi suatu ketika, "apa yang kau miliki"
"Sedikit roti dan hati yang tenang," jawabnya jujur.
Nabi tersenyum.