Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI Dr. Benny K. Harman memimpin Focus Group Discussion (FGD) Kelompok V Badan Pengkajian MPR bertema Pertahanan dan Keamanan Negara (Foto: MPR)
JAKARTA - Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI Dr. Benny K. Harman mengingatkan bahwa konsep pertahanan keamanan sesuai Pasal 30 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 belum mengakomodir potensi ancaman yang terus berkembang pada abad sekarang.
Saat ini, kata Benny, perang tidak selalu berbentuk fisik, dengan melibatkan banyak tentara dan persenjataan. Pertanyaannya, apakah pertahanan keamanan bangsa Indonesia, melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta sesuai Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945 masih sesuai atau tidak. Karena dalam perang siber keberadaan tentara dan senjata berat semakin tidak dipentingkan.
"Kita perlu mendefinisikan ulang tantangan dan ancaman baik fisik maupun nonfisik terhadap keselamatan negara di abad sekarang. Apakah masih sama seperti dulu atau sudah berubah. Sudah sesuaikan investasi kita di bidang pertahanan dan keamanan. Termasuk mitigasi kita menjaga dan mempertahankan negara sesuai Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945 masih relevan atau tidak," ungkap Benny K. Harman.
Pernyataan itu disampaikan Benny saat memimpin Focus Group Discussion (FGD) Kelompok V Badan Pengkajian MPR, yang berlangsung di BSD Tangerang Selatan, Banten, Selasa (2/12/2025). Tema yang dibahas adalah Pertahanan dan Keamanan Negara.
Dua orang narasumber membahas tema FGD. Keduanya adalah Sigit Kurniawan, ahli siber dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), serta Miftahul Ulum, dosen siber dari Universitas Muhammadiyah Jakarta. Turut hadir pada acara tersebut, anggota Badan Pengkajian Ir. Hanan A. Rozak, Drs. H. Mohd. Iqbal Romzi, serta Jialyka Maharani.
Dalam perkembangannya, menurut Benny, ancaman nonfisik terhadap sebuah bangsa lebih berbahaya dibanding fisik. Bahkan sebuah negara bisa hancur bukan hanya oleh senjata, tetapi juga oleh perang siber.
"Sementara Pasal 30 UUD cenderung hanya sesuai untuk mengantisipasi perang menggunakan senjata tetapi belum mengantisipasi kemungkinan hadirnya perang siber. Karena itu, jika suatu saat harus ada amandemen, perubahan terhadap Pasal 30 adalah keniscayaan," kata Benny lagi.
Kekhawatiran Benny K. Harman itu mendapat tanggapan dari Sigit Kurniawan. Menurut Sigit, dunia siber bergerak semakin masif di berbagai aspek kehidupan. Tak terkecuali masalah pertahanan dan keamanan. Saat ini istilah
Selain untuk peperangan, dunia siber juga bisa memberikan manfaat pada sistem pertahanan. Bahkan pertahanan menggunakan teknologi siber tidak terbatas di darat, laut, dan udara. Sistem pertahanan berbasis siber sudah tembus ke angkasa luar dalam bentuk pertahanan luar angkasa.
"Dalam kehidupan nyata, kita sudah banyak bersentuhan dengan dunia digitalisasi. Mulai dari layanan belanja dan pembayaran. Juga pelayanan pemerintah kepada masyarakat, seperti pajak, kesehatan, hingga bantuan sosial," ungkap Sigit.
Pendapat Sigit Kurniawan itu diiyakan Miftahul Ulum. Bahkan pada cyber warfare, siapa yang melakukan serangan tidak serta-merta bisa diketahui sebagaimana perang kinetik. Termasuk apakah serangan itu dilakukan oleh perseorangan atau negara. Bahkan perang siber kerap kali memakai wilayah negara tertentu untuk melakukan serangan di luar wilayah negaranya sendiri, dengan harapan meningkatkan ketegangan akibat serangannya.
"Jadi, dibutuhkan pengamatan yang ekstra untuk menentukan siapa yang memulai serangan dan kepada siapa balasan harus ditujukan. Ini penting untuk menghindari eskalasi yang lebih luas dari yang semestinya," ujar Ulum.
Selain itu, dunia siber, kata Ulum, berkembang sangat cepat. Bukan hanya bertambah dalam kelipatan satuan, tetapi sudah mencapai jutaan.
"Makanya kalau mengikuti kemajuan dunia siber, saya selalu bertanya-tanya, di mana posisi kita. Mampukah kita berdiri sederajat dengan mereka, atau akan terus menjadi konsumen dan pasar bagi teknologi siber dunia," ungkap Ulum.