Bencana banjir dan longsor menyerang sejumlah wilayah di Sumatera dan Aceh. Foto: sindonews
JAKARTA — Bencana alam yang melanda wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam beberapa hari terakhir menimbulkan dampak yang sangat besar. Hingga berita ini diturunkan, tercatat lebih dari 400 korban jiwa, ratusan orang masih dinyatakan hilang, serta banyak warga mengalami luka-luka dan harus mendapatkan perawatan medis. Kerugian materiil maupun immateriil juga dilaporkan meluas di sejumlah daerah yang terdampak.
Pengamat Swarna Dwipa Institute (SDI), Frans Immanuel Saragih, menyebut bencana ini menjadi pukulan berat bagi masyarakat Indonesia menjelang akhir tahun 2025. “Kami dari Swarna Dwipa Institute merasakan duka yang mendalam atas peristiwa ini. Kami mendukung pernyataan Presiden Prabowo bahwa bencana ini merupakan akibat kerusakan lingkungan,” ujar Frans di Jakarta, Selasa (2/12/2025).
Frans juga mengapresiasi langkah cepat TNI dan Polri dalam membantu proses evakuasi dan penanganan korban. Ia menegaskan bahwa kerusakan lingkungan yang menjadi pemicu bencana bukanlah persoalan baru. “Kerusakan lingkungan ini telah berlangsung selama bertahun-tahun. Kini kita melihat dampak terparahnya, termasuk kayu-kayu gelondongan yang berserakan. Bahkan WALHI telah menyampaikan adanya pihak-pihak terkait dalam praktik perusakan lingkungan tersebut,” jelasnya.
Dengan luasnya wilayah terdampak dan masih banyaknya area yang belum dapat dijangkau tim penyelamat, Frans mendesak pemerintah pusat menetapkan Status Bencana Nasional. Ia menilai langkah tersebut sangat mendesak mengingat setiap jam terdapat ancaman terhadap keselamatan warga. “Penetapan Status Bencana Nasional akan memungkinkan pemerintah mengerahkan seluruh sumber daya secara cepat dan terkoordinasi,” ujarnya.
Peneliti Senior SDI lainnya, Lutfi Nasution dan Tohenda, juga menyampaikan pandangan serupa. Tohenda yang berprofesi sebagai pengacara menjelaskan bahwa berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana yang terjadi di Sumatera telah memenuhi unsur-unsur Bencana Nasional, mulai dari jumlah korban jiwa, luas wilayah terdampak, kerusakan sarana-prasarana, hingga dampak sosial ekonomi. Ia mendorong BNPB segera merekomendasikan penetapan status tersebut kepada Presiden.
Lutfi Nasution menilai kehadiran pemerintah, partai politik, individu, dan organisasi kemasyarakatan di tengah masyarakat terdampak sangat membantu meringankan beban para korban. Ia juga mengingatkan perlunya evaluasi total terhadap tata kelola hutan. “Tata kelola hutan harus mengedepankan kelestarian alam, bukan hanya mengejar keuntungan jangka pendek. Musibah ini menjadi pengingat penting bagi semua pihak untuk menjaga keseimbangan lingkungan,” ujarnya.
Dari perspektif perlindungan kelompok rentan, Peneliti SDI bidang isu perempuan dan anak, Febby Lintang, menegaskan bahwa perempuan dan anak selalu menjadi kelompok paling terdampak dalam situasi bencana. Ia menilai penetapan Status Bencana Nasional memberikan peluang perlindungan yang lebih menyeluruh. “Dengan mekanisme nasional, perlindungan fisik, psikis, kesehatan spesifik perempuan, serta keberlanjutan pendidikan anak dapat ditangani lebih kuat dan terkoordinasi,” jelas Febby.
Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, Swarna Dwipa Institute secara tegas meminta pemerintah pusat segera menetapkan Status Bencana Nasional atas bencana alam yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.