• Info MPR

Waka MPR Soroti Paradoks Energi Indonesia, Kaya Tapi Masih Impor

Agus Mughni Muttaqin | Senin, 01/12/2025 19:15 WIB
Waka MPR Soroti Paradoks Energi Indonesia, Kaya Tapi Masih Impor Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno saat memberikan pemaparan mengenai urgensi percepatan transisi energi dalam rangkaian CIFP 2025 di Jakarta (Foto: MPR)

JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menyoroti apa yang ia sebut sebagai “energi paradoks” Indonesia, memiliki sumber daya energi fosil dan energi terbarukan yang sangat besar, tetapi masih bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan energi.

Sorotan tersebut Eddy Soeparno sampaikan saat menjadi narasumber diskusi dalam rangkaian acara Conference on Indonesian Foreign Policy (CIFP) 2025 di Diplomacy Clinic Room, The Kasablanka, Jakarta, baru-baru ini.

“Kita mulainya dari rumah kita, dari home ground kita, yaitu Indonesia. Permasalahan terbesar di sektor energi kita hari ini adalah energi paradoks yang kita miliki,” ujar Eddy dalam keterangan resmi dikutip pada Senin (1/12).

Menurut Eddy, Indonesia memiliki cadangan besar minyak, gas, dan batu bara. Ia menyebut produksi batu bara nasional bahkan dapat mencukupi kebutuhan hingga 200 tahun.

Di sisi lain, potensi energi terbarukan pun sangat besar, mulai dari tenaga surya sebesar 3.300 gigawatt hingga angin, air, arus laut, dan panas bumi. Namun, di tengah besarnya potensi tersebut, Indonesia justru masih mengimpor energi dalam jumlah besar.

“Hari ini kita impor 1 juta barel minyak mentah per hari. Dengan harga sekitar 70 dolar AS per barel, berarti 70 juta dolar per hari kita keluarkan untuk impor BBM,” ujarnya.

Selain minyak mentah, Indonesia juga masih mengimpor LPG, minyak tanah, hingga solar. “Ini permasalahan terbesar kita sekarang,” lanjut Waketum Partai Amanat Nasional (PAN) ini.

Eddy menegaskan bahwa untuk mengatasi paradoks energi tersebut, Indonesia harus mengoptimalkan pemanfaatan sumber energi terbarukan. Upaya

“Dengan mengoptimalkan energi terbarukan, kita bisa mengurangi impor, menghemat devisa, dan menghasilkan energi yang bersih dan hijau,” katanya.

Ia menjelaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah menyampaikan komitmennya dalam berbagai forum untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan. Komitmen tersebut diturunkan dalam bentuk kebijakan, strategi, dan program yang telah masuk dalam dokumen Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Meski demikian, Eddy mengingatkan bahwa transisi energi tidak lepas dari tantangan. Salah satunya adalah rendahnya capacity factor pembangkit tenaga surya yang hanya sekitar 25–30 persen karena tidak berproduksi pada malam hari atau ketika sinar matahari terhalang awan. Penggunaan baterai skala besar juga dinilai masih sangat mahal jika digandengkan dengan PLTS.

Eddy menambahkan, percepatan transisi energi sangat penting untuk menekan emisi karbon, terutama dari pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan diesel yang saat ini masih mendominasi sekitar 60 persen pembangkitan nasional.

Hadir bersama Eddy Soeparno dalam acara tersebut antara lain Ketua Umum Kadin Anindya Novyan Bakrie, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Mada Ayu Habsari, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Yusra Khan, FCPI Climate Fellow Adhityani Putri, dan Chief Experiment Officer Think Policy Andhyta Firselly Utami.