• Oase

Kisah Wafatnya Putri Rasulullah Sayyidah Fathimah Azzahra

M. Habib Saifullah | Rabu, 19/11/2025 15:35 WIB
Kisah Wafatnya Putri Rasulullah Sayyidah Fathimah Azzahra Ilustrasi kisah wafatnya Sayyidah Fathimah Azzahra (Foto:akurat)

JAKARTA - Rumah kecil di Madinah itu terasa lebih senyap dari biasanya. Sejak kepergian Rasulullah SAW, suasana rumah Sayyidah Fathimah Azzahra berubah menjadi ruang yang dipenuhi kerinduan.

Di setiap sudut, seakan masih tercium wangi lembut sang ayah yang ia cintai dengan sepenuh jiwa. Kesedihan itu begitu dalam, seolah sebagian cahaya hidupnya turut padam bersama kepergian beliau. Hari-hari Sayyidah Fathimah berlalu dalam kesunyian, namun hatinya tetap kukuh dalam keteguhan iman.

Sejak hari-hari selepas wafatnya Nabi, tubuh Fathimah terlihat semakin lemah. Meski ia berusaha tersenyum di hadapan Ali dan anak-anaknya Hasan, Husain, dan Zainab keletihan itu tampak tidak bisa lagi disembunyikan.

Para sahabat bercerita bahwa wajahnya memucat, langkahnya semakin pelan, dan tubuhnya seolah menyimpan beban yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

Pada suatu siang yang hening, Fathimah memanggil Asma’ binti Umais, sahabat dekat yang selalu mendampinginya. Dengan suara lirih namun tegas, ia berkata bahwa hari itu adalah hari terakhirnya di dunia.

Asma’ tersentak, tetapi Fathimah tersenyum tipis, seolah telah mencapai ketenangan yang suci. Ia meminta Asma’ menyiapkan kain kafan yang dulu diberikan Rasulullah SAW kepadanya.

Ada keharuan yang begitu halus ketika Fathimah menggenggam kain itu kain yang menghubungkan dirinya dengan ayah yang begitu ia cintai.

Setelah menyiapkan semua keperluan, Fathimah meminta izin kepada Asma’ untuk ditinggalkan sendiri. Sebelum itu, ia memeluk anak-anaknya satu per satu, mencium kening Hasan dan Husain dengan penuh kasih, seolah menitipkan pelukan terakhir yang akan mereka kenang sepanjang hidup.

Kepada Ali, ia memberikan nasihat akhir yang penuh kelembutan tentang amanah keluarga, tentang menjaga anak-anak mereka, dan tentang tetap teguh menjaga agama.

Ketika Asma’ kembali ke ruangannya, ia melihat Fathimah telah berbaring menghadap ke kiblat. Wajahnya tenang, seakan sedang tertidur. Tetapi ada sesuatu yang berbeda, ketenangan itu terlalu dalam, terlalu sempurna untuk seorang manusia yang sedang terlelap. Asma’ mendekat, menggoyang tubuh beliau dengan lembut, namun tak ada jawaban.

Di saat itulah ia menyadari, putri kesayangan Rasulullah SAW telah kembali kepada sang ayah, kepada Tuhannya, dengan cara paling lembut dan paling suci.

Ali bin Abi Thalib segera menghampiri rumah itu. Ketika melihat tubuh Fathimah terbujur tenang, air matanya jatuh tanpa dapat ditahan. Ali adalah seorang pejuang yang menantang puluhan medan perang, namun di hadapan kepergian istrinya, ia menjadi lelaki yang hatinya remuk.

Ia menatap wajah Fathimah yang tampak bercahaya, seakan kepergiannya adalah pertemuan yang dinanti di alam lain. Dengan tangan yang gemetar, Ali mempersiapkan pemakaman putri Rasulullah dengan penuh kehati-hatian, seakan ia masih takut menyakiti tubuh yang telah terlelap damai itu.

Pada malam yang sunyi, jenazah Sayyidah Fathimah dimakamkan secara sederhana. Lokasi makamnya hingga kini tidak disebutkan secara pasti, sesuai permintaan beliau sendiri.

Hanya beberapa orang yang turut dalam pemakaman itu, menjaga kesan sakral yang ingin ia tinggalkan. Di bawah langit Madinah yang gelap, rasa kehilangan menyelimuti semua yang mencintainya. Namun doa-doa tak henti dipanjatkan; doa tentang perempuan mulia yang merupakan belahan jiwa Rasulullah, cahaya rumah kenabian, dan ibu dari para pemuka syurga.