Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menjadi pembicara utama dalam sesi panel COP 30 di Brazil dengan tema Accelerating Sustainable Fuel — Focusing on Used Cooking Oil (UCO) and Its Potential to Be Sustainable Aviation Fuel (SAF) di Paviliun Indonesia (Foto: MPR)
JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno kembali menjadi pembicara utama dalam sesi panel COP 30 di Brazil dengan tema “Accelerating Sustainable Fuel — Focusing on Used Cooking Oil (UCO) and Its Potential to Be Sustainable Aviation Fuel (SAF)” di Paviliun Indonesia.
Dalam pidatonya, Eddy Soeparno menegaskan bahwa pengembangan Sustainable Aviation Fuel (SAF) dari minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO) bukan hanya solusi lingkungan, tetapi juga strategi ekonomi dan energi nasional yang bisa membawa Indonesia menjadi pemain utama di kawasan.
“Kita tidak sedang bicara proyek kecil atau sekadar uji coba. SAF adalah langkah konkret menuju kemandirian energi dan lompatan ekonomi hijau Indonesia,” kata Eddy Soeparno dalam keterangan resmi, dikutip pada Jumat (14/11/2025)
“Dari dapur rumah tangga hingga bandara internasional, minyak jelantah yang dulu dianggap limbah kini bisa menjadi sumber energi bersih yang bernilai tinggi,” sambung dia.
Eddy mengungkapkan, Indonesia memiliki potensi hingga 715 ribu ton minyak jelantah per tahun, namun baru 23 persen yang terkumpul. Karena itu, ia menilai penting membangun sistem pengumpulan nasional agar seluruh rantai nilai—dari masyarakat, pemerintah daerah, hingga industri—bisa terhubung dan transparan.
“Tantangan kita bukan soal teknologi, tetapi menciptakan ekosistem pengumpulan minyak jelantah di rumah tangga, restoran, hotel yang terkoordinasi. Kita harus memastikan minyak jelantah tidak lagi dibuang, tetapi dikumpulkan, disertifikasi, dan diolah menjadi bahan bakar penerbangan masa depan,” tegasnya.
Ia juga menyampaikan bahwa lewat ekspansi green refinery Pertamina di Cilacap dan Plaju, Indonesia menargetkan produksi lebih dari 1 juta kiloliter Sustainable Aviation Fuel (SAF) per tahun pada 2030. Dengan kebutuhan domestik sekitar 861 ribu kiloliter, Indonesia berpotensi memiliki surplus yang kelak bisa diekspor.
“Bayangkan, kita bukan hanya memenuhi kebutuhan sendiri, tetapi juga bisa mengekspor bahan bakar hijau ke negara lain. Ini adalah peluang ekonomi baru bagi bangsa menjadi pusat produksi SAF di Asia,” jelasnya.
Anggota DPR RI Komisi XII ini juga menekankan pentingnya inovasi teknologi SAF generasi baru seperti Power-to-Liquid serta distribusi SAF ke bandara utama agar bisa masuk ke rantai pasok penerbangan secara komersial.
“Kalau sistemnya terbangun utuh, kita bisa hasilkan 187 ribu kiloliter SAF per tahun, menekan 0,5 juta ton emisi COâ‚‚, dan membuka 30 ribu lapangan kerja hijau. Ini bukan angka kecil—ini masa depan ekonomi hijau Indonesia,” ujarnya.
Sebagai lembaga negara, Pimpinan MPR RI ini menegaskan bahwa MPR RI mendukung penuh harmonisasi kebijakan dan regulasi energi bersih melalui pembahasan RUU Energi Terbarukan, RUU Perubahan Iklim, RUU Listrik, dan RUU Migas.
“MPR berkomitmen menjadi penggerak kebijakan yang memastikan transisi energi tidak berhenti di niat, tapi berjalan di lapangan.”
“Kami ingin memastikan SAF bukan sekadar pilot project, tetapi menjadi komitmen nasional yang menempatkan Pertamina sebagai pemimpin regional bahan bakar penerbangan berkelanjutan,” tutup Eddy Soeparno.