Ilustrasi kisah Nabi Yusuf.
JAKARTA - Dalam sunyi malam penjara Mesir yang lembap dan remang, seorang pemuda berdiri memandangi cahaya tipis yang masuk dari celah dinding batu. Pemuda itu adalah Yusuf, anak dari Nabi Ya’qub, yang kini jauh dari rumah dan keluarganya.
Kejernihan matanya tidak berubah, meski hidup telah menghempaskannya dari kasih sayang ayah ke sumur, lalu dijual sebagai budak, dan akhirnya masuk ke penjara karena fitnah yang berat. Namun dalam hatinya tidak pernah padam satu hal: keyakinan bahwa Allah selalu bersamanya.
Di balik jeruji itu, Yusuf bukan sekadar tahanan. Ia menjadi tempat bertanya, seorang penenang jiwa, dan sahabat bagi para penghuni penjara yang kehilangan harapan.
Ketenangannya menular, dan tutur katanya selalu mengandung hikmah. Dalam kesunyian itulah sebuah kisah besar bermula—kisah yang kelak mengubah sejarah Mesir dan mengangkat Yusuf dari gelapnya penjara menuju cahaya istana.
Suatu pagi, dua pemuda yang juga dipenjara bersama Yusuf mendatanginya dengan wajah gelisah. Keduanya adalah mantan pelayan raja—yang satu pelayan minuman, dan satu lagi pelayan makanan.
Malam sebelumnya, keduanya mengalami mimpi yang terasa begitu nyata, seperti pesan misterius yang menunggu diungkap. Namun mereka tak menemukan siapa pun yang mampu menafsirkannya.
"Kami melihat engkau, wahai Yusuf, sebagai seorang yang jujur dan penuh kebaikan," kata salah seorang dari mereka. `Ceritakanlah makna mimpi kami, jika engkau mampu."
Yusuf menatap mereka lembut. Ia tahu, kemampuan menakwilkan mimpi adalah anugerah yang Allah berikan kepadanya sejak kecil, sejak ia bermimpi melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan bersujud kepadanya. Dengan ketenangan seorang nabi, ia meminta mereka menceritakan mimpinya.
Pemuda pertama berkata, "Aku bermimpi memeras anggur untuk raja."
Yang kedua menuturkan, suara kecilnya bergetar, "Aku bermimpi membawa roti di atas kepalaku, dan burung-burung memakan darinya."
Keduanya memandang Yusuf, menunggu jawaban.
Dengan hikmah yang jarang dimiliki manusia mana pun, Yusuf berkata, "Salah satu dari kalian akan kembali melayani raja dan memeras anggur untuknya. Sementara yang lain… akan dihukum hingga burung-burung memakan daging dari kepalanya."
Keheningan menyelimuti ruangan kecil itu. Tapi Yusuf tidak berbicara dari dugaan penafsirannya selalu dilandasi wahyu dan petunjuk Allah. Beberapa hari kemudian, segala sesuatunya terjadi persis seperti takwil Yusuf. Seorang kembali bekerja di istana. Yang lain menghadapi takdirnya.
Namun peristiwa itu hanyalah pintu kecil menuju kisah lebih besar.
Waktu berlalu hingga bertahun-tahun. Dan pada suatu malam, Raja Mesir mengalami mimpi ganjil: tujuh ekor sapi gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi kurus, serta tujuh bulir gandum hijau bersanding dengan tujuh bulir gandum kering. Mimpi itu begitu mengganggu pikirannya hingga ia memanggil semua penasihat, dukun, serta ahli istana. Tidak seorang pun dapat menafsirkan mimpi itu.
Hingga tiba-tiba, pelayan minuman yang dulu ditakwilkan Yƫsuf teringat kepada sosok bijaksana di penjara.
"Ada seorang pemuda di penjara yang mampu menafsirkan mimpi dengan tepat," katanya kepada raja. "Izinkan aku pergi menemuinya."
Ia berlari menyusuri dinding-dinding batu penjara, melewati jeruji yang pernah menjadi saksi jatuhnya seorang nabi yang tidak bersalah. Di sana ia melihat Yusuf, masih dengan ketenangan yang sama, seakan waktu tidak menyentuh hatinya.
Ia menceritakan mimpi raja, dan Yusuf menutup kedua matanya sejenak. Dalam hening itu, ia seakan melihat gambaran masa depan yang Allah bukakan untuknya.
"Mesir akan mengalami tujuh tahun masa subur," katanya akhirnya. "Tanah akan memberi hasil melimpah. Namun setelahnya, akan datang tujuh tahun masa kekeringan yang keras, yang akan memakan habis hasil tahun-tahun sebelumnya. Simpanlah gandum pada masa subur dan jangan boros, agar kalian selamat pada masa sulit."
Pemuda itu tercengang. Ia tahu, seperti sebelumnya, Yusuf tidak mungkin keliru.
Raja begitu terkesan dengan penafsiran itu hingga ia memerintahkan agar Yusuf dibebaskan. Namun Yusuf menolak keluar sebelum namanya dibersihkan dari fitnah yang dahulu menimpanya. Setelah kebenaran terungkap, ia diundang menghadap raja dan diberi kehormatan besar.
"Engkau, wahai Yusuf," kata raja, "adalah orang yang paling kami percayai untuk mengatur logistik negara."
Dalam sekejap, Yusuf berpindah dari kesempitan penjara menuju kemuliaan istana dari kegelapan menuju cahaya semuanya berkat karunia Ilahi dan keteguhan hati seorang nabi.
Segala sesuatu terjadi persis seperti takwil Yusuf. Tujuh tahun masa subur membawa panen melimpah, dan tujuh tahun masa kekeringan hampir memporak-porandakan negeri. Namun karena kebijaksanaan Yusuf, Mesir tetap berdiri tegak, bahkan mampu membantu negeri-negeri sekitar yang dilanda kelaparan.