Perayaan Tradisi Larung Sesaji (Foto: Times indonesia)
JAKARTA - Dentuman ombak Pantai Ngliyep di Kabupaten Malang, Jawa Timur, setiap tahun menjadi saksi bisu berlangsungnya tradisi sakral yang diwariskan turun-temurun oleh masyarakat Desa Kedungsalam, Kecamatan Donomulyo.
Tradisi tersebut dikenal sebagai Upacara Larung Sesaji atau Labuhan, sebuah ritual penuh makna yang mencerminkan rasa syukur sekaligus penghormatan masyarakat kepada Sang Pencipta dan penguasa laut selatan, Nyai Ratu Mas.
Upacara ini tidak sekadar seremoni adat, melainkan wujud ketaatan dan rasa hormat terhadap kekuatan alam yang dipercaya menjaga keseimbangan hidup masyarakat pesisir.
Ritual Larung Sesaji dilaksanakan setiap tahun, biasanya pada bulan Suro dalam penanggalan Jawa. Persiapannya dilakukan berhari-hari, di mana masyarakat bahu-membahu menyiapkan sesaji berupa hasil bumi, kepala kambing, ayam panggang, dan aneka jajanan tradisional.
Semua persembahan itu nantinya akan dilarung ke tengah laut di kawasan Gunung Kombang, sebuah pulau karang kecil yang dianggap suci dan menjadi pusat spiritual upacara.
Selama masa persiapan, terdapat beberapa pantangan adat yang harus ditaati. Salah satunya, perempuan tidak diperkenankan hadir di lokasi saat proses memasak sesaji berlangsung.
Menurut kisah turun-temurun, pernah suatu kali larangan ini dilanggar dan masakan yang dibuat tidak kunjung matang hingga menjelang upacara, diyakini sebagai pertanda bahwa adat harus dijaga.
Selain itu, peserta upacara juga dilarang mengenakan pakaian berwarna hijau gadung, karena warna tersebut dianggap sebagai warna kebesaran Nyai Ratu Mas, sang penguasa Laut Selatan.
Saat seluruh sesaji siap, warga bersama tokoh adat membawa persembahan menuju bibir pantai. Diiringi gamelan dan doa-doa, suasana menjadi hening dan khidmat.
Begitu sesaji dilepaskan ke laut, masyarakat percaya bahwa doa-doa mereka ikut mengalir bersama ombak, membawa berkah, keselamatan, dan ketentraman bagi seluruh warga desa.
Tradisi Larung Sesaji di Pantai Ngliyep diyakini telah ada sejak ratusan tahun lalu, jauh sebelum masa kolonial. Dalam catatan lisan masyarakat Kedungsalam, ritual ini berakar dari kepercayaan animistik dan sinkretisme Jawa kuno yang kemudian berpadu dengan nilai-nilai Islam.
Seiring berkembangnya ajaran Islam di wilayah selatan Malang, makna ritual bergeser menjadi bentuk syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, tanpa menghilangkan unsur kearifan lokal yang telah mengakar kuat.
Nama “Ngliyep” sendiri konon berasal dari kata “liyep” yang berarti tertidur atau tenang, menggambarkan suasana damai yang dirasakan siapa pun saat berada di pantai ini. Sejak era kerajaan Mataram Islam hingga kini, tradisi Larung Sesaji terus dipertahankan sebagai bagian dari warisan budaya Jawa Timur.
Selain nilai spiritualnya, kawasan Pantai Ngliyep memiliki keunikan dari sisi arsitektur dan lanskap sakral. Jalur menuju lokasi upacara dihiasi pintu gerbang bergaya candi bentar, khas arsitektur Jawa-Hindu, yang menandai peralihan dari dunia profan menuju kawasan suci.
Di sekitar pantai juga terdapat bangunan kecil berupa pendapa tempat sesaji disiapkan sebelum dilarung, berhiaskan ukiran kayu dan ornamen khas pesisir selatan.
Gunung Kombang sendiri memiliki karakter arsitektural alami: batu karang besar yang menyerupai pulau kecil, dikelilingi ombak deras dan tebing curam.
Di atasnya terdapat punden atau tempat pemujaan sederhana yang kerap dikunjungi untuk berziarah. Kombinasi antara keindahan alam, arsitektur tradisional, dan nilai spiritual menjadikan Pantai Ngliyep sebagai ruang harmoni antara budaya, alam, dan keyakinan.