Ilustrasi - beberapa bahasa cinta ala Gen Z (Foto: Unsplash/frank mckenna)
JAKARTA - Di zaman digital seperti sekarang, cara seseorang menunjukkan kasih sayang telah banyak berubah. Tak lagi sekadar lewat bunga, surat cinta, atau tatapan manis seperti masa lalu, ekspresi cinta kini hadir dalam bentuk yang lebih modern dan personal.
Generasi Z, mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2010, tumbuh bersama teknologi dan media sosial. Hal itu membentuk cara unik mereka dalam mengekspresikan perasaan, baik kepada pasangan, teman, maupun keluarga.
Tak heran, istilah love language atau bahasa cinta semakin populer di kalangan anak muda. Topik ini kerap menjadi bahan perbincangan hangat di media sosial, bahkan menjadi acuan dalam memahami hubungan antarpribadi.
Konsep love language sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Gary Chapman dalam bukunya yang terkenal, The 5 Love Languages. Ia menjelaskan bahwa setiap orang memiliki cara tersendiri dalam memberi dan menerima cinta, mulai dari kata-kata afirmasi hingga tindakan nyata.
Bagi generasi Z, memahami bahasa cinta menjadi langkah penting dalam membangun hubungan yang lebih sehat, saling menghargai, dan penuh pengertian di tengah dunia yang serba cepat dan digital ini.
Bagi sebagian Gen Z, kata-kata punya kekuatan besar. Ungkapan sederhana seperti `terima kasih sudah ada buat aku` bisa jadi bentuk cinta yang paling berarti.
Di dunia digital, ekspresi ini juga bisa hadir lewat pesan singkat, chat malam hari, atau bahkan caption di media sosial. Kata-kata positif menjadi sumber semangat dan validasi emosional yang membuat hubungan terasa lebih hangat.
Di tengah kesibukan kuliah, kerja, dan aktivitas daring, meluangkan waktu bersama menjadi hal berharga. Gen Z yang memiliki bahasa cinta quality time lebih menghargai kehadiran dibanding hadiah.
Sekadar duduk berdua sambil menonton film, atau berjalan sore tanpa terganggu ponsel, bisa menjadi momen yang bermakna. Bagi mereka, kebersamaan adalah bentuk cinta yang nyata.
Ada juga yang merasa paling dicintai lewat tindakan kecil yang tulus. Misalnya, membantu mengerjakan tugas, menjemput ketika hujan, atau sekadar membuatkan kopi di pagi hari.
Bagi Gen Z yang punya love language ini, perhatian tak selalu harus diucapkan, melainkan cukup ditunjukkan lewat aksi nyata. Mereka percaya bahwa cinta sejati terlihat dari kesediaan untuk membantu tanpa pamrih.
Sebagian orang mengartikan hadiah bukan sebagai bentuk materialisme, tetapi simbol perhatian. Bagi Gen Z, hadiah tidak harus mahal—bisa berupa makanan favorit, surat kecil, atau benda kenangan.
Poin utamanya ialah niat dan usaha di balik pemberian itu. Hadiah kecil yang diberikan di waktu tepat sering kali meninggalkan kesan yang lebih dalam dibanding ucapan panjang.
Meski terkesan sederhana, sentuhan fisik memiliki makna besar bagi sebagian orang. Bagi Gen Z yang ekspresif, pelukan singkat, genggaman tangan, atau tepukan di bahu bisa menjadi bentuk kasih sayang yang menenangkan.
Dalam hubungan yang sehat, bentuk sentuhan ini menjadi cara alami untuk menunjukkan kehangatan dan kedekatan emosional.
Menariknya, Gen Z sering kali memiliki kombinasi dari dua atau lebih bahasa cinta. Mereka bisa merasa dicintai lewat kata-kata sekaligus tindakan nyata.
Selain itu, perkembangan teknologi membuat ekspresi cinta juga beradaptasi. Love language kini bisa hadir dalam bentuk voice note, emoji hati, atau sticker chat lucu yang dikirim di tengah malam.