Lampu lalu lintas (Foto: Unsplash/Hermes Rivera)
JAKARTA - Setiap kali hujan mengguyur, ruas-ruas jalan di kota besar seperti Jakarta seakan berubah menjadi lautan kendaraan. Arus lalu lintas melambat, antrean kendaraan memanjang, dan kemacetan terasa jauh lebih parah dibandingkan hari biasa.
Penyebab utamanya adalah karena permukaan jalan yang licin, membuat pengemudi otomatis menurunkan kecepatan demi menghindari bahaya tergelincir atau rem mendadak.
Hujan juga sering kali menimbulkan genangan air dan banjir lokal, yang mempersempit lajur kendaraan dan memaksa pengendara mencari jalan alternatif. Akibatnya, beban lalu lintas berpindah dan menumpuk di titik-titik lain.
Selain faktor jalan, jarak pandang yang terganggu juga menjadi kendala. Wiper mobil yang tidak bekerja maksimal atau kaca yang berembun membuat pengemudi lebih berhati-hati, bahkan memperlambat laju kendaraan secara signifikan. Tak jarang pula kendaraan mogok karena mesin kemasukan air, menambah kemacetan di sekitar lokasi kejadian.
Hujan juga memengaruhi pilihan moda transportasi warga kota. Banyak orang memilih menggunakan kendaraan pribadi ketimbang transportasi umum untuk menghindari basah, sehingga jumlah kendaraan di jalan meningkat tajam.
Di sisi lain, pengaturan lalu lintas menjadi lebih rumit. Petugas kadang harus bekerja ekstra di area yang tergenang air atau mengalami penumpukan kendaraan. Situasi makin padat ketika banyak warga terburu-buru menjemput keluarga atau anak sekolah di tengah hujan deras.
Tak kalah penting, sistem drainase yang kurang memadai di sejumlah wilayah perkotaan membuat air sulit surut. Genangan yang bertahan lama membuat kemacetan bisa berlangsung hingga berjam-jam.
Dengan demikian, kemacetan saat hujan bukan sekadar disebabkan oleh cuaca buruk, tetapi juga merupakan hasil gabungan antara perilaku pengemudi, kondisi infrastruktur, dan sistem tata kota yang belum sepenuhnya siap menghadapi curah hujan tinggi.