Ikram Abdelhameed bersama keluarganya di kamp pengungsian yang melarikan diri dari el-Fasher ke Tawila, Darfur Utara, Sudan, pada 27 Oktober 2025. (FOTO: AFP)
JAKARTA - Serangan terhadap pemakaman di kota penting el-Obeid di negara bagian Kordofan Utara, Sudan telah menewaskan 40 orang, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), mengutip sumber lokal, mengatakan pada hari Selasa (4/11/2025) bahwa serangan di ibu kota negara bagian tersebut, yang masih dikuasai oleh Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) yang bersekutu dengan pemerintah, terjadi tanpa menyebutkan kapan serangan itu terjadi atau siapa yang berada di baliknya.
Laporan mengenai serangan itu muncul saat Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter tampak siap melancarkan serangan terhadap kota tersebut saat pasukan tentara berkumpul dalam upaya untuk mengusir mereka.
"Situasi keamanan di wilayah Kordofan terus memburuk," kata OCHA.
"Sekali lagi, kami menyerukan penghentian segera permusuhan dan agar semua pihak melindungi warga sipil serta menghormati hukum humaniter internasional."
Pertempuran di wilayah kaya minyak itu meningkat, dengan ribuan orang mengungsi ke el-Obeid minggu lalu setelah RSF merebut kembali kota Bara, sekitar 60 km (37 mil) di utara kota itu, dari SAF.
Pada saat yang sama, RSF merebut kendali el-Fasher, ibu kota negara bagian Darfur Utara, setelah penarikan pasukan SAF. Lebih dari 70.000 orang telah meninggalkan kota dan daerah sekitarnya sejak pengambilalihan RSF, menurut PBB.
Para saksi dan kelompok hak asasi manusia telah melaporkan kasus-kasus “eksekusi singkat”, kekerasan seksual, dan pembantaian warga sipil.
Nathaniel Raymond, direktur eksekutif Laboratorium Penelitian Kemanusiaan di Sekolah Kesehatan Masyarakat Yale, mengatakan pada hari Selasa bahwa RSF telah “mulai menggali kuburan massal dan mengumpulkan jenazah di seluruh kota”.
Pejabat PBB juga memperingatkan minggu ini bahwa ribuan orang diyakini terjebak di el-Fasher.
Perang saudara yang dahsyat pecah pada tahun 2023, ketika perebutan kekuasaan antara RSF dan SAF memicu pertempuran di ibu kota, Khartoum.
Sejak saat itu, RSF telah menguasai lebih dari sepertiga wilayah negara tersebut dalam konflik yang telah menewaskan puluhan ribu orang dan menyebabkan 12 juta orang mengungsi, hampir seperempat dari populasinya, dan menjadi krisis kemanusiaan terbesar di dunia, menurut PBB.
Menteri Pertahanan Sudan Hassan Kabroun mengatakan pada hari Selasa bahwa SAF akan melanjutkan perjuangannya melawan RSF setelah Dewan Keamanan dan Pertahanan negara itu bertemu untuk membahas proposal dari Amerika Serikat untuk gencatan senjata. (*)