• Oase

50 Hari Ujian Ka`ab bin Malik yang Diampuni Allah

Vaza Diva | Senin, 03/11/2025 16:45 WIB
50 Hari Ujian Ka`ab bin Malik yang Diampuni Allah Ilustrasi - ini kisah Ka’ab bin Malik, sahabat Nabi Muhammad SAW (FOTO: FREEPIK)

JAKARTA - Dalam sejarah Islam, kisah Ka`ab bin Malik menjadi salah satu pelajaran paling berharga tentang kejujuran, penyesalan, dan ampunan Allah SWT.

Peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW ini terekam dalam hadis sahih dan menjadi teladan abadi bagi umat Muslim tentang makna taubat sejati.

Kisah ini bermula ketika Rasulullah SAW mempersiapkan pasukan besar menuju Perang Tabuk, salah satu ekspedisi penting yang terjadi pada tahun ke-9 Hijriah. Saat itu, kaum Muslimin diperintahkan untuk berangkat melawan pasukan Romawi di wilayah utara.

Ka’ab bin Malik, seorang sahabat Nabi yang dikenal saleh dan pemberani, justru tertinggal tanpa alasan yang jelas. Ia mengakui bahwa saat itu berada dalam kondisi fisik yang kuat dan memiliki cukup perbekalan, tetapi menunda-nunda keberangkatan hingga akhirnya pasukan Rasulullah berangkat tanpa dirinya.

Ketika Rasulullah SAW kembali dari Tabuk, banyak orang munafik datang memberi alasan palsu atas ketidakhadiran mereka. Namun Ka’ab memilih jujur.

Ia berkata kepada Nabi SAW:

"Wahai Rasulullah, demi Allah, seandainya aku duduk di hadapan orang lain, niscaya aku bisa mencari-cari alasan. Tetapi aku tahu, jika hari ini aku berdusta, Allah pasti akan memperlihatkan kebohonganku. Aku tidak memiliki alasan apa pun."

Kejujuran itu membuat Rasulullah SAW tidak menjatuhkan hukuman langsung, namun beliau memerintahkan agar Ka’ab dan dua sahabat lainnya, Hilal bin Umayyah dan Murârah bin Rabi’, dijauhi oleh seluruh kaum Muslimin hingga Allah memberi keputusan.

Sejak saat itu, kehidupan Ka’ab berubah drastis. Tidak ada seorang pun yang menyapanya, berbicara dengannya, atau menemaninya. Ia bahkan tidak tahu apakah masih termasuk kaum Muslimin atau tidak.

Ka’ab menggambarkan masa itu sebagai hari-hari paling gelap dalam hidupnya. Ia beribadah, menangis, dan memohon ampun setiap hari. Bahkan istrinya diperintahkan Rasulullah SAW untuk menjauh sampai datang perintah Allah.

Ia berkata:

ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ

“Bumi terasa sempit bagiku, padahal bumi itu luas.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim)

Selama 50 hari penuh, Ka’ab hidup dalam keterasingan dan penyesalan mendalam. Namun ia tidak pernah mengubah pernyataannya, tetap jujur dan berserah diri kepada Allah SWT.

Hingga pada hari ke-50, wahyu Allah SWT turun kepada Rasulullah SAW, menandakan diterimanya taubat mereka.

Allah berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 118:

وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّىٰ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat mereka), hingga apabila bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan hati mereka pun telah sempit, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah melainkan kepada-Nya. Maka Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
(QS. At-Taubah: 118)

Ketika kabar itu diumumkan, seluruh penduduk Madinah bergembira. Ka’ab bin Malik sujud syukur seraya menangis haru. Ia segera menuju masjid untuk menemui Rasulullah SAW yang tersenyum bahagia dan bersabda:

أَبْشِرْ، هَذَا خَيْرُ يَوْمٍ مَرَّ عَلَيْكَ مُنْذُ وَلَدَتْكَ أُمُّكَ

"Bergembiralah, ini adalah hari terbaik dalam hidupmu sejak engkau dilahirkan oleh ibumu." (HR. al-Bukhārī dan Muslim)

Ka’ab kemudian berkata:

وَاللَّهِ مَا نَجَّانِي إِلَّا الصِّدْقُ، فَأَنَا لَا أَقُولُ إِلَّا صِدْقًا أَبَدًا مَا بَقِيتُ

“Wahai Rasulullah, demi Allah, tidak ada yang bisa menyelamatkanku selain kejujuranku. Maka aku akan selalu berkata jujur seumur hidupku.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim)

Kisah Ka’ab bin Malik memberikan pelajaran mendalam bagi umat Islam tentang kejujuran dan taubat sejati. Ia menunjukkan bahwa pengakuan jujur di hadapan Allah lebih bernilai daripada alasan palsu yang hanya memberi kenyamanan sesaat.

Dari keterasingan selama lima puluh hari, Ka’ab menemukan kedekatan yang sejati — bukan dengan manusia, melainkan dengan Tuhannya. Ia kehilangan dunia, tapi mendapatkan ampunan dan kemuliaan dari Allah SWT, sebagaimana diabadikan dalam Al-Qur’an yang akan dibaca hingga akhir zaman.