Diskusi Universitas Paramadina tentang Sumpah Pemuda, Jakarta, Rabu (28/10/2025). Foto: tangkapan layar
JAKARTA – Pendiri Paramadina, Nurcholish Madjid (Cak Nur), menyampaikan bahwa Indonesia sebagai negara yang dibangun di atas keanekaragaman budaya, suku, dan agama bisa dikatakan sukses dalam membangun kebersamaan dan persaudaraan dalam ikatan kebangsaan.
“Sikap nasionalisme ini pula yang membuat kita yang beraneka ragam ini mau bersatu (Sumpah Pemuda 1928), melepaskan diri dari penjajahan bangsa asing, dan memproklamasikan diri sebagai bangsa yang merdeka,” kata Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J. Rachbini, Msc., PhD., dalam pengantar diskusi “Syubbanul yaum rijalul ghod. Pemuda masa kini, pemimpin di masa depan,” yang digelar Universitas Paramadina Jakarta, Rabu (28/10/2025).
Prof. Didik menyampaikan, semasa hidupnya, di dalam buku Indonesia Kita, Cak Nur sebagai cendekiawan Muslim menilai proses demokrasi bangsa ini yang tidak semakin membaik.
Sekarang keadaan seperti itu masih terus berlajut. Banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi bangsa ini dalam berdemokrasi. Jiwa kerdil yang hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya masih dominan di bangsa ini, baik di tingkat elite maupun kalangan bawah.
“Alhasil, terdapat kesenjangan yang demikian jauh antara apa yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa dengan kenyataan yang ada saat ini. Selama sepuluh tahun terakhir ini, demokrasi dikebiri dan reformasi tak mendapatkan hasil yang pasti,” katanya.
Menurut Cak Nur, lanjut Prof. Didik, pemuda bukan hanya kelompok usia muda, tetapi subjek sejarah yang memiliki tanggung jawab moral dan intelektual terhadap perubahan masyarakat menjadi lebih baik.
Pemuda sejati adalah mereka yang memiliki idealisme, keberanian berpikir merdeka, dan kemauan untuk memperbaiki keadaan.
“Cak Nur menegaskan bahwa kemajuan bangsa sangat bergantung pada generasi muda yang mampu memadukan iman, ilmu, dan kerja keras. Ia menulis dalam karyanya Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan,” tutur Prof. Didik.
Pada kesempatan yang sama, akademisi Universitas Paramadina Dr. Suratno menyampaikan, Sumpah Pemuda bisa dimaknai sebagai penegasan kembali; sebagai akad (`aqdun) dan ikrar (iqrorun) komitmen kebangsaan kita. Tetapi tentu saja, dan kemudian lebih penting lagi adalah tindak-lanjut (follow-up) dari akad dan ikrar itu; yakni kerja-kerja nyata kita untuk bangsa tercinta.
Kerja dan karya adalah kosa kata paling penting untuk mengisi perjalanan sejarah bangsa menjadi makmur dan menjadi bangsa yang cerdas (sesuai cita-cita pendiri bangsa ini).
“Mari segenap muda-mudi, kita bahu-membahu membangun bangsa; keluar dari berbagai keterpurukan yang masih melanda. Syubbanul yaum rijalul ghod. Pemuda jaman sekarang adalah pemimpin di masa depan,” kata Dr. Suratno.
Menukil pemikiran Cak Nur, Dr. Suratno menyebut bahwa agenda bangsa setelah hampir seabad Sumpah Pemuda adalah membangun nasionalisme Indonesia dengan mengatasi tantangannya, yakni keterpurukan negeri ini yang disebabkan berbagai masalah membuat kita hampir pesimis, mau jadi seperti apakah bangsa ini di masa depan.
Kesenjangan antara yang kaya dan miskin, buruknya kualitas pendidikan, sikap arogan dan serakah para elite penguasa, dan kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok masyarakat yang mengatasnamakan golongan tertentu membuat semangat kebersamaan dan persaudaraan kian memudar.
“Padahal untuk menjadi bangsa yang besar, kita memerlukan semua kekuatan dari berbagai elemen untuk bersatu padu dan bekerja sama. Atau dalam ungkapan Bung Karno: samen bundeling van alle krachten van de natie, pengikatan bersama seluruh kekuatan bangsa,” pungkasnya.